Jakarta – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia melalui Bidang Perekonomian, Pangan, dan Pengembangan Ekspor menggelar Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) bertema “Ketahanan Pangan dan Energi Mendukung Pertumbuhan Ekonomi untuk Mewujudkan Indonesia Incorporated” di Hotel Grand Hyatt, Jakarta Pusat, Jumat (07/11/2025).
Rakornas ini dihadiri jajaran pengurus Kadin Indonesia di antaranya Wakil Ketua Umum Koordinator (WKUK) Bidang Perekonomian Franky O. Widjaja, WKUK Bidang Pangan Mulyadi Jayabaya, WKUK Bidang Pengembangan Ekspor Juan Permata Adoe, WKUK Bidang Sosial Nita Yudi, serta Anggota Komisi IV DPR RI Arif Rahman.
Ketua Umum Kadin Indonesia Anindya Novyan Bakrie, yang hadir secara daring melalui rekaman video, menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global.
Anin sapaan akrabnya menyampaikan, meski perekonomian dunia masih bergejolak, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap solid di atas 5 persen sepanjang 2025 dan diperkirakan bertahan hingga akhir tahun.
Namun, tantangan seperti biaya logistik yang masih tinggi dan produktivitas industri yang belum maksimal menjadi pekerjaan besar yang harus segera dibenahi.
“Kita tahu biaya logistik kita masih 17 persen, lebih tinggi dari rata-rata Asia. Produktivitas industri kita belum naik kelas. Inilah PR (Pekerjaan Rumah) besar buat kita bersama. Untuk melompat, bukan hanya berjalan,” kata Anin.
Anin menjelaskan, sektor pangan perlu memperkuat rantai pasok dan produktivitas agar tidak hanya menopang ketahanan nasional tetapi juga meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bidang perekonomian, lanjut Anin, harus menjadi pusat kendali kebijakan untuk menurunkan cost of doing business dan memperkuat investasi sektor riil.
Sementara itu, bidang pengembangan ekspor ditargetkan naik kelas dari exporter of raw materials menjadi exporter of innovation, dengan target peningkatan ekspor nonkomoditas senilai 5 miliar dolar AS dalam dua tahun ke depan.
Selain itu, Anin mengungkapkan bahwa kerja sama dengan Kementerian Kehutanan juga tengah dikembangkan untuk mendorong multiusaha kehutanan, sistem usaha terpadu yang menggabungkan hasil hutan, jasa lingkungan, pangan, dan energi.
“Potensinya luar biasa besar. Lebih dari 30 juta hektare lahan tersedia di seluruh Indonesia. Produksi hasil hutan bukan kayu mencapai 872 ribu ton, tapi baru 20 persen dari potensinya. Jika nilainya naik 10-20 persen, bisa menambah Rp100-300 miliar per tahun per provinsi,” ujar Anin.
Anin menambahkan, potensi dari jasa lingkungan dan karbon bisa mencapai Rp25-100 miliar per provinsi per tahun, sementara sektor agroforestry, pangan, dan bioenergi memiliki potensi nilai ekonomi hingga Rp1-2 triliun per tahun.
“Namun semua itu hanya bisa terwujud bila kita bergerak bersama. Kadin adalah rumah besar dunia usaha. Yang besar memimpin yang kecil, yang kuat mengangkat yang lemah. Itulah semangat Kadin Gotong Royong,” kata Anin
“Kadin masa depan harus Human-led 30 persen, Tech-enabled 70 persen, dan Nation-driven 100 persen. Kita pimpin dengan hati, kita perkuat dengan data, dan kita berjuang untuk bangsa,” pungkasnya.
Sementara itu, WKUK Bidang Pangan Kadin Indonesia Mulyadi Jayabaya dalam sambutannya menegaskan pentingnya penguatan sektor pangan nasional melalui peningkatan produktivitas pertanian, ketersediaan bibit unggul, dan pupuk yang memadai.
Mulyadi menjelaskan, Indonesia memiliki sekitar 10 juta hektare lahan sawah dengan rata-rata hasil panen 5,2 ton per hektare sebagaimana disampaikan Menteri Pertanian RI. Dengan asumsi produksi tersebut, Indonesia sebenarnya bisa mencapai surplus beras hingga 50 juta ton per musim panen, sementara kebutuhan nasional hanya sekitar 30 juta ton.
“Kalau dihitung, kita bisa surplus. Tidak perlu impor dari luar. Tapi masalahnya, bibit unggul dan pupuk sering tidak tersedia, sehingga hasil panen tidak optimal,” kata Mulyadi.
Mulyadi menyoroti dua masalah utama dalam sektor pangan, yaitu keterbatasan bibit unggul dan kelangkaan pupuk. Ia berharap hal ini dapat diatasi melalui kebijakan pemerintah, khususnya di bawah program Presiden terpilih Prabowo Subianto, yang menitikberatkan pada dukungan modal kerja bagi petani.
“Kalau kebutuhan bibit dan pupuk terpenuhi, serta petani mendapat modal kerja, maka ketahanan pangan bisa tercapai. Harga gabah sekarang juga sudah bagus, bahkan mencapai Rp7.000 per kilogram,” jelasnya.
Lebih lanjut, WKUK Bidang Pengembangan Ekspor Kadin Indonesia Juan Permata Adoe, menegaskan bahwa ekspor merupakan salah satu pilar utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Juan menjelaskan bahwa Kadin Indonesia tengah menyiapkan berbagai langkah strategis untuk memperluas keterlibatan pemangku kepentingan dalam ekosistem ekspor, termasuk memperkuat kerja sama dengan Kementerian Perdagangan RI.
“Kami memiliki rancangan untuk melibatkan beberapa stakeholders agar terlibat aktif. Kerja sama dengan Kementerian Perdagangan juga perlu lebih ditingkatkan agar tujuan peningkatan ekspor dan penerimaan negara dapat tercapai,” jelas Juan.
Selain itu, Juan memandang pentingnya pembangunan kapasitas sumber daya manusia dan penyempurnaan kebijakan sebagai pondasi peningkatan daya saing pelaku usaha nasional di pasar global.
“Kami sudah menyiapkan pilar-pilar dalam pendidikan dan pelatihan, serta penyempurnaan kebijakan, sehingga semua pengusaha dari berbagai sektor bisa masuk ke kegiatan ekspor dengan daya saing yang lebih baik,” ujar Juan.
Lebih jauh, WKUK Bidang Perekonomian Kadin Indonesia Franky O. Widjaja, menekankan pentingnya memperkuat koordinasi lintas sektor dalam mewujudkan ketahanan pangan dan energi nasional.
Franky menyampaikan bahwa Kadin telah merumuskan strategi konkret untuk mereplikasi keberhasilan model kemitraan di sektor sawit yang dikenal sebagai pendampingan melekat atau inclusive closed loop ke berbagai komoditas lain.
“Kami fokus pada ketahanan pangan dan ketahanan energi. Kami sudah merumuskan bagaimana agar hal itu bisa benar-benar terlaksana,” ujar Franky.
Model inclusive closed loop, lanjut Franky, merupakan sistem kemitraan antara perusahaan, koperasi, dan masyarakat. Melalui pendekatan ini, seluruh pihak dapat memperoleh manfaat ekonomi secara berkeadilan dan berkelanjutan.
“Dalam sistem pendampingan melekat, perusahaan bekerja bersama koperasi dan masyarakat. Mereka mendapatkan bibit yang sama dan berkualitas, disiplin yang sama, serta akses pembiayaan karena ada avalis dari perusahaan inti. Hasilnya juga bisa masuk ke pasar ekspor dengan harga yang sama dan kompetitif,” jelasnya.
Franky menilai keberhasilan sistem ini di industri sawit dapat menjadi contoh bagi sektor pangan lainnya. Dengan penerapan yang tepat, model tersebut diyakini mampu meningkatkan produktivitas nasional dan memperluas peluang ekspor.
“Kalau ini bisa kita duplikasikan ke komoditas lain, produktivitas akan meningkat. Bukan hanya cukup untuk kebutuhan dalam negeri, tapi juga bisa kita ekspor,” tutup Franky.