Jakarta – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai pemulihan pertumbuhan ekonomi nasional menuju angka 5 persen pada semester kedua 2025 sangat mungkin dicapai, asalkan pemerintah mampu mengoptimalkan belanja negara, menggerakkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta membangun kembali kepercayaan pelaku usaha.
Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Bidang Analisis Kebijakan Makro-Mikro Ekonomi Kadin Indonesia, Aviliani atau Avi sapaan akrabnya dalam acara Bisnis Indonesia Midyear Challenges 2025 bertajuk “Memetakan Peluang dari Volatilitas Perekonomian Global” yang digelar di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Selasa (29/07/2025).
“Jadi kalau kita lihat di semester 2 (triwulan II) ini, kita berharap harusnya bisa ditingkatkan pertumbuhan ekonomi, bisa menjadi 5% kembali. Memang dengan syarat. Pertama adalah kita harapkan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) ini mulai bisa belanja lagi,” ujar Avi.
Avi menyoroti bahwa pada triwulan II, pertumbuhan ekonomi tercatat negatif akibat terhambatnya belanja pemerintah.
Padahal menurut Avi, meski kontribusinya hanya sekitar 8% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), pengeluaran negara tetap menjadi penggerak utama aktivitas ekonomi nasional.
“Dan biasanya pertumbuhan ekonomi itu penggeraknya adalah dari mereka (belanja pemerintah), walaupun hanya 8% dari PDB,” tambah Avi.
Selain itu, Avi menekankan pentingnya peran BUMN dalam memicu pergerakan sektor swasta. Ia menyebut bahwa saat ini BUMN, khususnya di sektor konstruksi, cenderung lamban bergerak karena terkendala pelaksanaan proyek-proyek APBN.
“Nah itu dua hal yang paling penting untuk penggerakan pertumbuhan ekonominya,” tegas Avi.
Lebih lanjut, Avi juga menggarisbawahi pentingnya membangun persepsi positif di kalangan pelaku usaha di tengah ketidakpastian global yang terus berlanjut.
“Sekarang yang harus dibangun adalah persepsi domestiknya sendiri. Bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah itu mampu untuk membuat pengusaha itu percaya untuk ekspansi. Karena itu kepercayaan ini juga menjadi salah satu faktor,” tambah avi.
Avi menyatakan bahwa fokus kebijakan saat ini harus diarahkan pada sisi permintaan (demand side), bukan hanya pasokan (supply side). Dengan peningkatan daya beli masyarakat melalui pengeluaran pemerintah, sektor UMKM dan pariwisata akan ikut tumbuh dan membuka lapangan kerja.
“Kalau tidak tepat sasaran, akhirnya tidak akan berdampak pada multiplier effect. Jadi harus melihat demand side. Sekarang policy harus bicara demand side, tidak hanya supply side,” tandas Avi.
Sementara itu, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI Susiwijono Mugiarso, menegaskan bahwa tekanan ekonomi global saat ini sangat nyata dan berpengaruh langsung terhadap perekonomian nasional.
Menurutnya, ketegangan geopolitik di berbagai kawasan dunia berdampak besar terhadap rantai pasok, biaya logistik, serta harga komoditas.
“Dampaknya ke ekonomi luar biasa, terutama urusan supply chain, urusan logistic cost, dan urusan banyak hal yang terkait dengan bagaimana komponen harga barang menjadi lebih mahal,” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi global mengalami revisi turun dari 3,3 persen menjadi 2,8 persen, sementara proyeksi volume perdagangan global menyusut drastis dari 3,4 persen menjadi hanya 1,7 persen.
“Ini pasti akan berdampak besar,” tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Presiden Komisaris Bisnis Indonesia Hariyadi Sukamdani menyatakan bahwa tantangan yang dihadapi saat ini juga membawa peluang untuk melakukan transformasi.
“Kami percaya kolateralitas yang kita hadapi hari ini jika dikelola dengan bijak, maka dapat menjadi momentum untuk transformasi ekonomi yang lebih kompetitif dan resilient,” tutupnya.