Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menangkap banyak peluang dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) saat melakukan kunjungan ke Negeri Paman Sam dan bertemu banyak pengusaha di sana.
Dengan peluang yang ada, Ketua Umum Kadin Indonesia Anindya Novyan Bakrie mengungkapkan nilai perdagangan Indonesia-AS dapat menembus angka 80 miliar dolar AS atau dua kali lipat setelah proses negosiasi tarif resiprokal. Bahkan, Anin, sapaan akrabnya, optimistis nilai perdagangan kedua negara dapat mencapai 120 miliar dolar AS dalam empat tahun mendatang.
“Prediksi kami di Kadin, kalau antara ekspor dan impor (Indonesia -AS) itu 39-40 miliar dolar AS kurang lebih. Dalam waktu 2-3 tahun, kalau kita pandai, itu bisa menjadi dari 40-80 miliar dolar AS. Dalam 4 tahun, bisa jadi 120 miliar dolar AS. Kalau misalnya kita menyiasatinya benar,” tegas Anin dalam konferensi pers terkait hasil lawatannya ke AS di Jakarta, Jumat (9/5/2025).
Anin memerinci, Presiden AS Donald Trump memegang data yang mencatatkan nilai ekspor Indonesia ke AS sekitar 25 miliar dolar AS dan impor 13 miliar dolar AS. Dengan demikian, total nilai perdagangan kedua negara saat ini sekitar 40 miliar dolar AS.
Kadin optimistis, nilai perdagangan itu dapat melonjak dua kali lipat menjadi 80 miliar dolar AS dalam 2-3 tahun mendatang. Hal ini karena surplus perdagangan Indonesia terhadap AS yang sekitar 18 miliar dolar AS rencananya akan diseimbangkan. Hal ini terkait negosiasi tarif yang dibuka oleh AS dengan permintaan nilai ekspor-impor Indonesia-AS menjadi setara.
Dengan demikian, nilai impor dari AS akan meningkat 18 miliar dolar AS sebagai penyeimbang neraca perdagangan sehingga total perdagangan kedua negara diprediksi naik menjadi 58 miliar dolar AS atau hampir 60 miliar dolar AS.
“Sisanya 20 miliar dolar AS akan datang dari dua belah pihak saling ekspor-impor. Kita akan ekspor lebih banyak lagi karena Amerika (Serikat) tidak menerima (impor) dari beberapa negara, seperti China,” jelas Anin.
Kemudian, peluang dagang Indonesia untuk AS juga terbuka bagi sektor tekstil dan produk tekstil (TPT), seperti alas kaki. Dengan demikian, secara bertahap, Indonesia bisa menambah ekspor senilai 10 miliar dolar AS. Alhasil nilai perdagangan antara Indonesia dan AS bisa bertambah lagi menjadi 60-70 miliar dolar AS.
Sebaliknya, AS memiliki peluang ekspor dalam bentuk komoditas pangan, seperti kedelai, gandum, susu, dan daging ke Indonesia.
Dengan demikian, proyeksi nilai perdagangan mencapai 80 miliar dolar AS sangat mungkin terealisasi. Bahkan, nilai perdagangan itu dapat meningkat hingga 120 miliar dolar AS atau nyaris setara dengan nilai perdagangan antara Indonesia dan China yang mencapai 130 miliar dolar AS.
“Ingat, kalau 120 miliar dolar AS itu sudah mulai sama dengan dagang (antara Indonesia) China yang 130 miliar dolar AS. Sekali lagi, ini penuh dengan catatan karena Kadin bukan yang bernegosiasi dengan pemerintah. Tetapi secara potensi ada, karena dibutuhkan dan kedua belah pihak ingin berdagang lebih,” tegasnya.
Indonesia Berpeluang Jual Kredit Karbon hingga Mineral Kritis
Di kesempatan yang sama, Anin memprediksi AS diproyeksi tak akan sepenuhnya keluar dari Perjanjian Paris. Dengan begitu, Indonesia memiliki sejumlah peluang untuk menjual atau meningkatkan perdagangan kredit karbon, hingga mineral kritis yang banyak tersedia di Tanah Air.
Sinyal tersebut ditangkap Anin saat menghadiri Bloomberg New Energy Forum (NEF) Summit 2025 pada 29-30 April 2025 lalu. Acara ini diikuti bersama Utusan Presiden Bidang Perubahan Iklim dan Energi Hashim S. Djojohadikusumo, yang juga Ketua Dewan Penasihat Kadin Indonesia.
“Forum ini fokus membahas transisi energi, iklim, lingkungan hidup. Di sana bertemu dengan berbagai macam pemangku kepentingan di bidang energi. Walau Presiden Trump memutuskan keluar dari Paris Agreement namun dua per tiga dari 50 negara bagian menyatakan ingin lanjut,” jelas Anin.
Bahkan, sambung dia, penghasil minyak dan gas (migas) terbesar di AS yakni Texas, justru menjadi negara bagian yang paling banyak menggunakan energi angin dan tenaga surya untuk menghasilkan listrik.
“Di situlah kami merasa bahwa ini mungkin belum tentu selamanya pemerintah pusat Amerika (ingin keluar dari Perjanjian Paris). Di sana banyak sekali orang datang mau ajak berminat investasi di mineral kritis terutama, kemudian energi baru terbarukan, maupun carbon capture,” tutur Anin.
Oleh karena itu, Kadin bersama utusan presiden mempromosikan Indonesia sebagai pusat dekarbonisasi. Dengan hutan tropis yang luas, Indonesia menghasilkan kredit karbon melalui proyek konservasi hutan, reboisasi atau pengelolaan lahan berkelanjutan.
Proyek Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) memungkinkan Indonesia mendapat pengakuan atas emisi yang berhasil dicegah lewat perlindungan hutan.
“Indonesia juga melakukan preservasi di biodiversitas sekitar kita yang suatu saat bisa menjadi carbon capture yang bagus dan juga carbon market. Jadi itulah kita mencari mitra-mitra dan banyak sekali yang justru sangat meminati,” ujar Anin.
Indonesia memiliki potensi untuk menjual kredit karbon ke AS melalui mekanisme perdagangan karbon internasional, seperti bursa karbon Indonesia atau IDX Carbon. Bursa ini telah meluncurkan penawaran sertifikat kredit karbon untuk pembeli internasional, termasuk potensi pembeli dari AS untuk membantu capaian target emisi nol bersih.
“Bagi Indonesia, iklim, energi transisi, dan lingkungan hidup adalah isu kehidupan karena kita negara kepulauan, kalau air naik, hancur semua kita. Selanjutnya, Indonesia juga mempunyai potensi untuk memproses mineral kritisnya dengan kemampuan energi terbarukan,” tegas Anin.
Tak lupa, tim lawatan ke AS juga menginformasikan bahwa Indonesia memiliki banyak mineral kritis yang bisa diolah seperti nikel, tembaga, seng, bauksit, hingga emas. Anin menegaskan, peluang investasi AS pada komoditas-komoditas tersebut tetap mengutamakan nilai tambah di dalam negeri, dengan pengolahan mineral sebelum diekspor.
“Di atas tanah, kita mempunyai kemampuan untuk renewable energy (energi terbarukan), bahkan di RUPTL PLN 15 tahun ke depan saja sudah 103 gigawatt, 75 persennya renewable energy,” imbuhnya.
Mineral langka merupakan bahan baku baku kendaraan listrik (electric vehicle/EV) yang juga dibutuhkan AS. Pengusaha di Negeri Paman Sam berharap Indonesia mengekspor mineral kritis ke AS dan pihak AS bisa membangun pabrik pengolahan mineral kritis di Indonesia.
Mineral kritis adalah mineral yang sangat penting bagi ekonomi dan sangat penting pula dalam transisi energi. Tetapi, mineral kritis ini sangat langka. Mineral kritis yang sangat dibutuhkan untuk teknologi energi bersih, antara lain nikel, kobalt, dan lithium yang merupakan bahan utama baterai EV. Selain itu ada tembaga, mineral penting untuk jaringan listrik dan sistem energi terbarukan.
##