Disahkan pada tahun 2011, Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (secara bersama-sama disebut “UU 6/2011”), yang saat ini menjadi payung ketentuan keimigrasian yang berlaku, mulai dari prasyarat masuk atau keluar wilayah Indonesia, hingga tindak pidana keimigrasian.
Namun demikian, menanggapi beberapa permohonan uji materi UU 6/2011 yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”), Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga Atas UU 6/2011 (“RUU”) yang sedang dalam pembahasan kini telah disetujui sebagai produk legislatif atas usulan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) Republik Indonesia.[1]
Saat ini, RUU tersebut akan mengubah enam pasal yang saat ini tertuang dalam UU 6/2011. Di antara berbagai penyesuaian yang dilakukan dalam RUU tersebut, pemegang Izin Tinggal Tetap (“ITAP”) kini berhak menerima izin masuk kembali dengan masa berlaku yang sesuai dengan ITAP terkait.[2] Saat ini, izin masuk kembali hanya dapat diberikan untuk masa berlaku dua tahun yang tidak melebihi masa berlaku ITAP awal.[3]
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, Indonesian Legal Brief (“ILB”) edisi kali ini merangkum ketentuan-ketentuan baru yang dikenalkan dalam RUU tersebut, khususnya terkait dengan hal-hal sebagai berikut:
- Tindakan Pencegahan dan Penangkalan yang Disesuaikan; dan
- Sumber Pendanaan yang Diperluas.
Tindakan Pencegahan dan Penangkalan yang Disesuaikan
Sebagaimana diuraikan di atas, salah satu alasan pengenalan RUU ini adalah untuk memastikan bahwa ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UU 6/2011 sejalan dengan hasil permohonan peninjauan kembali yang secara khusus membahas kerangka ini. Terkait hal tersebut, RUU tersebut kini telah mengubah dua aspek yang secara spesifik berkaitan dengan penyelidikan dan penyidikan keimigrasian, seperti yang saat ini terdapat dalam UU 6/2011, dengan menyelaraskan ketentuan-ketentuan tersebut dengan putusan peninjauan kembali terkait, sebagaimana dijelaskan dalam tabel berikut:
Permohonan Peninjauan Kembali | Pertimbangan Permohonan Peninjauan Kembali | Implikasinya terhadap RUU tersebut |
Putusan MK No. 40/PUU-IX/2011 (“Putusan 40/2011”) | Karena tahap penyelidikan tidak menyimpulkan bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan, putusan ini memutuskan bahwa penyelidikan tidak boleh digunakan sebagai alasan bagi petugas imigrasi untuk mencegah seseorang keluar dari wilayah Indonesia, dan dengan demikian unsur ini dinyatakan inkonstitusional.[4] | Selain tidak memiliki dokumen perjalanan yang sah dan tercantum dalam daftar pencegahan keimigrasian, petugas imigrasi hanya dapat mencegah seseorang keluar wilayah Indonesia untuk keperluan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang.[5] |
Putusan MK No. 64/PUU-IX/2011 (“Putusan 64/2011”) | Mengingat, menurut MK bahwa larangan bepergian ke luar negeri terhadap seseorang dapat diperpanjang setiap saat untuk jangka waktu maksimum enam bulan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi orang yang dikenakannya, Putusan ini memutuskan bahwa frasa “setiap kali” yang digunakan untuk tujuan perluasan pencegahan imigrasi adalah inkonstitusional.[6] | Pencegahan imigrasi harus berlaku tidak lebih dari jangka waktu enam bulan dan hanya dapat diperpanjang untuk satu jangka waktu enam bulan berikutnya[7] |
Ditambah lagi, RUU tersebut kini menyatakan bahwa langkah penangkalan imigrasi hanya dapat diberlakukan dalam jangka waktu paling lama 10 tahun dan hanya dapat diperpanjang untuk jangka waktu 10 tahun berikutnya.[8] Saat ini, masa berlaku dan perpanjangan maksimum adalah enam bulan.[9]
Selain itu, RUU tersebut menyatakan bahwa langkah pencegahan dan penangkalan imigrasi akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang akan datang.[10] Berbeda dengan UU 6/2011 yang berlaku saat ini, rinciannya saat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2013 sebagai Peraturan Pelaksanaan UU 6/2011, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan penerbitan Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2021 (secara bersama-sama disebut “PP 31/2013”).[11]
Sumber Pendanaan yang Diperluas
UU 6/2011 mengamanatkan bahwa dana untuk pelaksanaan dan penegakan kerangka yang ada saat ini harus ditanggung melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (“APBN”).[12] Namun, RUU tersebut kini mengizinkan pendanaan juga bersumber dari sumber pendanaan lain yang sah sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan terkait, antara lain:[13]
- Pemanfaatan barang milik negara dan/atau pemanfaatan asset dalam penguasaaan;
- Penggunaan skema kerja sama antara pemerintah dan badan usaha; dan/atau
- Partisipasi pihak lain (seperti penugasan badan usaha milik negara, penguatan peran badan hukum milik negara dan kontribusi pihak swasta).
Poin Utama
Apabila RUU tersebut akhirnya berlaku, maka perubahan ketiga akan memberikan kepastian hukum yang lebih besar bagi individu yang dikenakan tindakan pencegahan dan/atau penangkalan keimigrasian. Peningkatan kejelasan ini sejalan dengan dua permohonan uji materiil terkait UU 6/2011. Selain itu, perluasan sumber pendanaan pelayanan keimigrasian juga diharapkan dapat meminimalisasi ketergantungan terhadap APBN, sehingga memungkinkan lebih terakomodasinya kebutuhan-kebutuhan lain terkait penyelenggaraan pelayanan keimigrasian oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di luar yang ada saat ini ditanggung oleh APBN. Hal ini, pada akhirnya akan meningkatkan berbagai layanan imigrasi di Indonesia.[14]
Sumber: hukumonline.com