KADIN INDONESIA

Indonesian Chamber of Commerce and Industry

KADIN INDONESIA

Indonesian Chamber of Commerce and Industry

Menelusuri Lanskap CCS di Indonesia: Mengurai Ketentuan yang Berlaku dan Dampak dari Kerangka Regulasi CCS yang Baru Diperkenalkan

Pendahuluan

Salah satu tren terbaru yang muncul saat dunia berusaha beralih ke masa depan rendah karbon dan mengatasi dampak perubahan iklim yang sedang berlangsung sambil mencapai target global Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission – “NZE”) adalah penerapan teknologi Penangkapan dan Penyimpanan Karbon (Carbon Capture and Storage – CCS”). Sederhananya, CCS melibatkan penangkapan karbon dioksida, baik yang berasal dari bahan bakar fosil atau limbah hasil pembakaran, yang kemudian disimpan di bawah tanah.[1] Sementara potensi CCS Indonesia tetap menjadi bahan kajian dan perdebatan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (“Menteri”) telah menegaskan bahwa penyelenggaraan CCS akan menjadi salah satu instrumen utama yang akan digunakan untuk mencapai target NZE Indonesia pada tahun 2060 atau secepatnya.[2] Dalam hal ini, implementasi CCS dapat meningkatkan tingkat produksi minyak dan gas melalui metode CO2 Enhanced Oil Recovery (EOR) atau Enhanced Gas Recovery (EGR) yang bekerja secara bersamaan mengurangi emisi gas rumah kaca (“Emisi GRK”) sejalan dengan produksinya.[3]

Melihat bahwa potensi-potensi di atas dapat menarik investasi lebih lanjut dan menghasilkan nilai ekonomi melalui implementasi kegiatan-kegiatan CCS, serta membantu Indonesia mencapai target Kontribusi Yang Ditetapkan Secara Nasional (Nationally Determined Contribution – “NDC”),[4] pemerintah memutuskan untuk menerbitkan Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan Dan Penyimpanan Karbon (“Perpres 14/2024”), yang telah berlaku sejak 30 Januari 2024.[5] Secara garis besar, Perpres 14/2024 menetapkan ketentuan yang berlaku mengenai penyelenggaraan CCS, yang dapat dilakukan melalui salah satu skema berikut:[6]

 

Namun, perlu dicatat bahwa Perpres 14/2024 bukanlah kerangka regulasio nasional pertama yang menangani hal-hal terkait CCS. Memang, Menteri sebelumnya menetapkan Peraturan No. 2 Tahun 2023 (“Permen ESDM 2/2023”), yang mengatur berbagai ketentuan yang secara khusus membahas kegiatan terkait CCS dan Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon (Carbon Capture, Utilization and Storage – “CCUS”) selama kegiatan usaha hulu migas.[11] Namun demikian, meskipun Perpres 14/2024 mengakomodasi cakupan yang lebih luas mengenai ketentuan terkait CCS, perlu dicatat bahwa pemberlakuan kerangka baru ini tidak secara otomatis mencabut kerangka regulasi sebelumnya yang secara khusus mengatur implementasi CCS, termasuk PermenESDM 2/2023, dengan syarat bahwa ketentuan yang diatur dalam kerangka tersebut tidak bertentangan dengan Perpres 14/2024.[12]

Meskipun tampak jelas dari garis besar di atas bahwa penyelenggaraan CCS pada akhirnya bertujuan memberi kontribusi yang signifikan terhadap upaya Indonesia mengatasi Emisi GRK global, pengenalan Perpres 14/2024 tetap menuai kritik dari berbagai elemen masyarakat, termasuk para ahli lingkungan. Pihak-pihak ini termasuk Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), yang telah menyatakan bahwa kerangka baru ini berpotensi mengaburkan transisi energi Indonesia di masa depan, karena tidak dilengkapi dengan peta jalan yang jelas yang membahas penghentian penggunaan bahan bakar fosil dan operasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara.[13] Dalam hal ini, para kritikus juga mengklaim bahwa CCS akan menjadi celah para pelaku usaha migas untuk dapat terlibat dalam praktik greenwashing.[14]

Mengingat pentingnya CCS dalam transisi energi yang sedang berlangsung sebagai bagian dari upaya pengurangan Emisi GRK, khususnya langkah-langkah yang secara khusus diuraikan dalam Perpres 14/2024, Indonesian Law Digest (“ILD”) edisi kali ini menyajikan analisis kerangka regulasi terbaru implementasi CCS. Diskusi kami terbagi sebagai berikut:

1. Skema Penyelenggaraan yang Tersedia dan Proses Implementasi
a. Penyelenggaraan CCS Berbasis KKS
b. Penyelenggaraan CCS Berbasis Izin Eksplorasi
c. Penyelenggaraan CCS Berbasis Izin Penyimpanan

2. Implementasi CCS
a. Kegiatan CCS Lain-lain
b. Penyelenggaraan Kegiatan Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi (Measurement, Reporting and Verification – “MRV”)
c. Keselamatan Operasi, Kelestarian Lingkungan dan Tanggap Darurat
d. Transportasi Karbon Lintas Negara

3. Penutupan CCS
a. Skema Bisnis dan Sanksi yang Berlaku
b. CCS: Aspek Ekonomi dan Skema Bisnis
c. Penerapan Nilai Ekonomi Karbon (“NEK”)
d. Sanksi Administratif yang Berlaku

I. Skema Penyelenggaraan yang Tersedia dan Proses Implementasi

 

A.    Penyelenggaraan CCS Berbasis KKS

Pada intinya, penyelenggaraan CCS berbasis KKS harus dilakukan oleh Kontraktor yang beroperasi di wilayah kerja pertambangan yang menjalankan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi (“Wilayah Kerja”).[15] Dalam hal ini, CCS berbasis KKS tersebut harus dilakukan sebagai bagian dari operasi penambangan yang dilaksanakan berdasarkan KKS yang mengambil salah satu bentuk berikut:[16]

 

Untuk menjalankan kegiatan CCS berbasis KKS di Wilayah Kerja, Kontraktor yang memenuhi syarat harus menyampaikan rencana penyelenggaraan CCS dengan sertifikasi kapasitas penyimpanan karbon yang relevan (“Rencana Penyelenggaraan”)[17]  kepada Satuan Kerja Khusus Pelaksanaan Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas”) atau Badan Pengelola Migas Aceh (“BPMA”) sesuai dengan yurisdiksi yang relevan.[18] Dalam hal ini, Rencana Penyelenggaraan tersebut harus diajukan sebagai bagian dari permohonan persetujuan Rencana Pengembangan Lapangan (Plan of Development – “POD”). Prosedur pengajuan Rencana Penyelenggaraan dan POD masing-masing diuraikan sebagai berikut:[19]

 

Perlu juga dicatat bahwa pengajuan Rencana Penyelenggaraan harus disertai dengan sertifikasi yang mencakup fasilitas penyimpanan karbon yang relevan.[20] Selain itu, setelah mendapatkan persetujuan untuk POD yang dijelaskan di atas, Kontraktor harus menindaklanjuti penerbitan persetujuan tersebut dengan melakukan amandemen KKS-nya dan menyelesaikan proses berikut:[21]

 

Jika pada akhirnya disetujui menyelenggarakan kegiatan CCS, Kontraktor memiliki wewenang untuk memanfaatkan depleted reservoir atau storage akuifer  asin yang berada di Wilayah Kerja selama penyelenggaraan CCS.[22] Selain itu, produsen emisi dapat memanfaatkan fasilitas operasi CCS yang dioperasikan oleh Kontraktor, sepanjang fasilitas tersebut memenuhi persyaratan kelayakan yang berlaku (yaitu kelayakan teknis, keekonomian dan keamanan operasi).[23] Pada akhirnya, jika implementasi ZTI di lingkungan Wilayah Kerja meluas melampaui negara wilayah yang bersangkutan dan berpotensi dimanfaatkan sebagai fasilitas penyimpanan karbon, maka kontraktor dapat mengusulkan rencana perluasan Wilayah Kerja ke SKK Migas agar dapat disetujui oleh Menteri.[24]

 

B.   Penyelenggaraan CCS Berbasis Izin Eksplorasi

 

Selain CCS berbasis KKS yang disebutkan di atas, Perpres 14/2024 juga mengatur CCS berbasis Izin, yang harus dilaksanakan berdasarkan Izin yang diperoleh dari Menteri pada Wilayah Izin Penyimpanan Karbon (“WIPK”).[25] Dalam hal ini, Perpres 14/2024 menyatakan bahwa CCS tersebut harus diselenggarakan berdasarkan aspek-aspek berikut:[26]

 

 

Berdasarkan Perpres 14/2024, proses yang dilalui dalam penetapan WIPK terdiri dari beberapa tahap, sebagaimana dirangkum dalam diagram alir berikut:[29]

 

Sementara ilustrasi di atas menunjukkan bahwa Usaha yang telah ditunjuk sebagai Pemenang harus mendapatkan Izin Eksplorasi dengan mengajukan permohonan melalui sistem OSS, penting untuk dicatat bahwa semua Pemenang harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan berikut:[30]

Persyaratan Administratif[31] Persyaratan Teknis[32]
Mencakup hal-hal berikut:

  1. Nomor Induk Berusaha (“NIB”);
  2. Nama dan akta pendirian entitas yang mengajukan izin, yang harus dimiliki atau dikendalikan langsung oleh Pemenang atau perusahaan induknya;
  3. Surat permohonan; dan
  4. Susunan pengurus, daftar pemegang saham dan pemilik manfaat dari Usaha yang relevan (dalam hal pemutakhiran data diperlukan).
Mencakup hal-hal berikut:

  1. Komitmen pasti yang terkait dengan Eksplorasi ZTI;
  2. Rencana kerja pelaksanaan komitmen Eksplorasi ZTI;
  3. Jaminan pelaksanaan komitmen pasti Eksplorasi ZTI;
  4. Studi mitigasi jalur kebocoran, pengeboran sumur dan tes injektivitas formasi;
  5. Studi konseptual pengembangan Penyimpanan Karbon dan pemilihan konsep pengembangan; dan
  6. Persyaratan teknis lainnya yang berlaku.
Persyaratan Lingkungan[33] Persyaratan Finansial[34]
Pemenuhan persyaratan lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan lingkungan yang berlaku. Mencakup hal-hal berikut:

  1. Bukti penempatan jaminan pelaksanaan komitmen pasti Eksplorasi ZTI; dan
  2. Surat keterangan fiskal sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

 

Setelah diperoleh, Izin Eksplorasi akan berlaku selama enam tahun dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu maksimal empat tahun.[35] Namun, perlu dicatat bahwa Izin Eksplorasi dilarang untuk dipindahtangankan kepada pihak lain.[36] Selanjutnya, pemegang Izin Eksplorasi diberi mandat untuk melaksanakan hal-hal sebagai berikut:[37]

  1. Mengajukan rencana kerja kepada Menteri tentang pelaksanaan komitmen pasti Eksplorasi ZTI untuk mendapatkan persetujuan;
  2. Mendapatkan persetujuan dari Menteri atas rencana kerja di atas sebelum menjalankan kegiatan Eksplorasi ZTI.

 

Setelah proses Eksplorasi ZTI telah dilaksanakan dan kapasitas komersial penyimpanan karbon yang relevan telah ditentukan, pemegang Izin Eksplorasi harus menyerahkan Rencana Pengembangan dan Operasi (Plan for Development and Operation) ZTI (“PDO ZTI”) kepada Menteri untuk persetujuan. Dalam hal ini, PDO ZTI setidaknya harus menyertakan hasil kajian yang membahas berbagai aspek, antara lain geofisika, teknik, faktor ekonomi, penutupan, monitoring dan MRV.[38] Kajian tersebut, sebagaimana disampaikan kepada Menteri, harus mencakup 19 jenis informasi, termasuk sebagai berikut:[39]

 

Selain itu, PDO ZTI juga harus disertai dengan sertifikasi kapasitas penyimpanan karbon.[40] Mengingat bahwa Menteri bertanggung jawab untuk menyetujui atau menolak PDO ZTI yang diajukan, prosedur yang berlaku untuk pengajuan tersebut akan diatur dalam Peraturan Menteri yang akan datang.[41]

 

C.    Penyelenggaraan CCS Berbasis Izin Penyimpanan

Perpres 14/2024 menyatakan bahwa penyelenggaraan CCS berbasis Izin Penyimpanan dapat dilakukan pada WIPK, sebagaimana ditetapkan oleh Menteri.[42] Dalam hal ini, pemegang Izin Eksplorasi dapat memenuhi syarat untuk mendapatkan Izin Penyimpanan setelah PDO ZTI mereka disetujui oleh Menteri.[43] Namun, penting untuk dicatat bahwa hanya BU saja yang dapat memperoleh Izin Penyimpanan.[44] Dalam hal ini, BUT yang bertindak sebagai pemegang Izin Eksplorasi, yang PDO ZTI-nya disetujui oleh Menteri dan ingin memperoleh Izin Penyimpanan, diharuskan membentuk BU terlebih dahulu sebelum mengajukan permohonan untuk memperoleh izin tersebut.[45]

Serupa dengan skema CCS, sebagaimana diuraikan di atas, pemegang Izin Eksplorasi harus memenuhi empat bentuk persyaratan untuk dapat memperoleh Izin Penyimpanan, sebagaimana dirangkum dalam tabel di bawah ini:[46]

 

Setelah diterbitkan, Izin Penyimpanan akan berlaku untuk jangka waktu maksimal 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun dengan mempertimbangkan kapasitas penyimpanan yang relevan.[51] Seperti halnya Izin Eksplorasi, pemegang Izin Penyimpanan dilarang memindahtangankan izinnya kepada pihak lain[52] dan diberi mandat untuk melaksanakan hal-hal sebagai berikut:[53]

  1. Mengajukan rencana tahunan yang membahas kegiatan penyimpanan karbon operasi;
  2. Mendapatkan persetujuan dari Menteri atas rencana tahunan yang dijelaskan di atas sebelum melaksanakan kegiatan penyimpanan karbon operasi.

 

D.   Implementasi CCS

 

Secara garis besar, implementasi CCS harus dimulai setelah ketentuan berikut telah dipenuhi terlebih dahulu:

Implementasi CCS setidaknya harus terdiri dari 11 fase, seperti yang dirangkum dalam diagram alir berikut:[56]

 

Selain fase-fase implementasi CCS yang diuraikan di atas, Perpres 14/2024 juga mengatur sejumlah aspek yang secara khusus berkaitan dengan fase-fase implementasi CCS tertentu, sebagaimana dirangkum dalam tabel berikut:

 

Perlu juga dicatat bahwa setiap penyimpanan karbon yang berasal dari luar negeri hanya dapat dilakukan oleh produsen karbon yang telah berinvestasi dan/atau yang terafiliasi dengan investasi di Indonesia.[62]

 

II.  Kegiatan CCS Lain-lain

 

A.   Penyelenggaraan Kegiatan MRV

Pada dasarnya, penanggung jawab (persons-in-charge – “PIC”) dari Kontraktor atau pemegang Izin Penyimpanan yang menjalankan kegiatan CCS diberi mandat untuk melakukan kegiatan MRV untuk menjamin kualitas, kredibilitas, keandalan, kelengkapan, akurasi dan kebenaran jumlah karbon yang tersimpan pada ZTI. Kegiatan MRV terdiri dari tiga kegiatan utama, seperti namanya. Tabel berikut merangkum kegiatan-kegiatan tersebut, sebagaimana diuraikan dalam Perpres 14/2024:[63]

 

Perlu diperhatikan juga bahwa Kontraktor atau pemegang Izin Penyimpanan harus menyampaikan hasil MRV-nya kepada Tim MRV di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk selanjutnya ditembuskan kepada Menteri.[67] Selain itu, hasil MRV juga harus dilaporkan melalui Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (“SRN-PPI”).[68]

 

B.   Keselamatan Operasi, Kelestarian Lingkungan dan Mitigasi Darurat

 

Sepanjang pelaksanaan berbagai proses dalam penyelenggaraan CCS, Kontraktor atau pemegang Izin Penyimpanan harus melakukan monitoring keselamatan operasi untuk menjamin keselamatan pekerja, instalasi dan peralatan, serta keselamatan lingkungan dan/atau umum, sebagaimana yang berlaku berdasarkan peraturan perundang-undangan yang relevan. Fasilitas monitoring tersebut harus mulai beroperasi sejak pemberian persetujuan untuk Rencana Penyelenggaraan dan berlanjut hingga 10 tahun setelah penutupan kegiatan CCS yang relevan.[69]

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, Kontraktor dan pemegang Izin Penyimpanan terikat oleh kewajiban finansial sebagai berikut:

 

Sebelum pelaksanaan kegiatan monitoring, Kontraktor atau pemegang Izin Penyimpanan harus menyampaikan rencana monitoring. Rencana tersebut harus mematuhi persyaratan berikut:[72]

  1. Karakteristik lokasi CCS yang relevan harus dipertimbangkan;
  2. Metode langsung atau tidak langsung untuk mengidentifikasi potensi risiko harus digunakan (misalnya kebocoran, kontaminasi air tanah, integritas ZTI dan potensi risiko lainnya); dan
  3. Prinsip-prinsip keteknikan yang baik harus diterapkan dan kemampuan yang diperlukan harus dimiliki (misalnya untuk mengidentifikasi potensi risiko yang berkaitan dengan kebocoran atau pergerakan karbon).[73]

 

Dalam hal monitoring keselamatan operasi, Kontraktor atau pemegang Izin Penyimpanan terikat oleh kewajiban pelaporan sebagai berikut:[74]

 

Namun, penting untuk dicatat bahwa jika insiden kebocoran meningkatkan inventori GRK yang relevan, maka Kontraktor terkait atau pemegang Izin Penyimpanan wajib melakukan pengimbangan emisi.[75] Selain itu, Kontraktor atau pemegang Izin Penyimpanan juga wajib menyediakan sistem tanggap darurat yang mampu menangani setiap keadaan darurat yang berpotensi membahayakan keselamatan pekerja, instalasi, lingkungan dan/atau elemen lainnya. Sistem tanggap darurat tersebut harus mencakup aspek-aspek berikut:[76]

  1. Penilaian risiko;
  2. Prosedur tanggap darurat (misalnya upaya mitigasi yang akan dilaksanakan selama keadaan darurat yang teridentifikasi, sistem pelaporan, dan koordinasi pemangku kepentingan). Prosedur ini harus dimutakhirkan setiap tahun;[77]
  3. Peralatan darurat (misalnya peralatan peringatan dini);
  4. Personel yang terdidik dan terlatih, sebagai first responder;[78] dan
  5. Pelatihan berkala melalui simulasi.[79]

 

C.    Transportasi Karbon Lintas Negara

Perpres 14/2024 memungkinkan transportasi karbon lintas negara diimplementasikan dalam upaya memfasilitasi penyelenggaraan upaya CCS lintas negara, yang didasarkan pada kerja sama bilateral antarnegara. Setiap perjanjian bilateral tersebut harus berfungsi sebagai pedoman bagi semua pihak terkait yang terlibat penerbitan rekomendasi atau izin yang diperlukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di kedua negara masing-masing.[80] Setiap tahapan dari kegiatan pengangkutan karbon lintas negara yang melibatkan pengangkutan karbon ke dalam wilayah pabean Indonesia harus dilakukan dengan moda transportasi yang sesuai dengan standar yang berlaku dan kaidah keteknikan yang baik. Selain itu, berbagai aspek yang berkaitan dengan keselamatan, kesehatan kerja dan perlindungan lingkungan juga harus diperhitungkan.[81]

Karbon yang diangkut ke wilayah pabean Indonesia wajib diregistrasikan oleh importir yang relevan hanya satu kali pada saat pertama kali karbon tersebut diimpor. Ketentuan lebih lanjut mengenai berbagai hak dan kewajiban yang berkaitan dengan mekanisme penyerahan karbon lintas negara negara akan diatur lebih lanjut dalam peraturan yang berlaku dan harus dilaksanakan dengan mengacu pada perjanjian yang dibuat antara penghasil emisi dan Kontraktor terkait, pemegang Izin Transportasi dan/atau Izin Penyimpanan.[82]

 

D.   Penutupan CCS

Berdasarkan Perpres 14/2024, kegiatan CCS harus ditutup jika terjadi salah satu dari kondisi berikut ini:[83]

 

Sebelum melakukan penutupan CCS, Kontraktor atau pemegang Izin Penyimpanan harus menyampaikan rencana yang membahas penutupan kegiatan CCS (“Rencana Penutupan”) kepada Menteri (melalui SKK Migas untuk Kontraktor). Rencana Penutupan tersebut setidaknya harus mencakup informasi berikut:[84]

Dalam hal penutupan CCS yang diakibatkan oleh keadaan kahar, maka Kontraktor atau pemegang Izin Penyimpanan yang bersangkutan harus melaporkannya kepada Menteri dalam jangka waktu sebagai berikut:[85]

  1. Secara elektronik: harus disampaikan dalam waktu 1 x 24 jam;
  2. Secara tertulis: harus disampaikan dalam waktu 2 x 24 jam; dan
  3. Laporan perkembangan yang membahas penutupan CCS: harus disampaikan setiap 24 jam.

 

Perlu juga dicatat bahwa berbagai hak, kewajiban dan tanggung jawab Kontraktor atau pemegang Izin Penyimpanan pada penyelenggaraan CCS akan berakhir jika terjadi kondisi berikut ini:[86]

 

Perlu dicatat bahwa Kontraktor dapat mengajukan permohonan pengembalian Wilayah Kerja dengan ZTI kepada Menteri sebelum berakhirnya KKS. Dalam hal demikian, permohonan tersebut harus diajukan kepada SKK Migas, sedangkan hak, kewajiban dan tanggung jawab Kontraktor terkait akan dialihkan kepada Menteri bersamaan dengan persetujuan pengembalian Wilayah Kerja, sebagaimana diterbitkan oleh Menteri.[87]

 

III. Skema Bisnis dan Sanksi yang Berlaku

 

A.   CCS: Aspek Ekonomi dan Skema Bisnis

Perpres 14/2024 menyatakan bahwa penyelenggaraan CCS dapat dimonetisasi berdasarkan penyelenggara kegiatan CCS. Tabel di bawah ini menjabarkan berbagai jenis monetisasi yang tersedia untuk kegiatan CCS berdasarkan Perpres 14/2024:[88]\

 

Pendapatan berupa imbal jasa penyimpanan (storage fee) bagi Kontraktor akan dibagi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perpajakan di sektor hulu migas. Sementara itu, imbal jasa penyimpanan bagi pemegang Izin Penyimpanan akan dikenakan kewajiban penerimaan negara bukan pajak, yang wajib dibayarkan kepada pemerintah.[89]

Lebih lanjut, Perpres 14/2024 menyatakan bahwa Kontraktor dan/atau pemegang Izin berhak menikmati insentif perpajakan dan nonperpajakan dari pemerintah. Pemberian insentif tersebut harus diimplementasikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[90] Namun, perlu dicatat bahwa insentif pajak untuk Kontraktor hanya terbatas pada kewajiban pajak yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan hulu migas.[91]

Selain itu, Perpres 14/2024 juga menampilkan aspek-aspek yang berkaitan dengan pengelolaan aset CCS (yang berbentuk barang atau peralatan), sebagaimana diuraikan sebagai berikut:[92]

B.   Penerapan NEK

Secara garis besar, NEK, yang berkaitan dengan kegiatan CCS, harus diterapkan sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon (“PermenLHK 21/2022”).[93] Berkaitan dengan hal tersebut, PIC kegiatan CCS wajib melakukan pencatatan dan pelaporan penerapan Nilai Ekonomi Karbon sebagai SRN-PPI.[94]

Terkait hal-hal di atas, Perpres 14/2024 menyatakan bahwa aksi mitigasi perubahan iklim yang dilakukan selama kegiatan CCS dapat dilakukan melalui penerapan NEK.[95] Meskipun Perpres 14/2024 tidak secara eksplisit mencantumkan sarana penerapan NEK yang tersedia, kerangka regulasi tersebut menyatakan bahwa sarana tersebut mencakup perdagangan karbon, yang memerlukan Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) sebagai bukti pengurangan Emisi GRK selama implementasi aksi mitigasi.[96]

Perlu diketahui juga bahwa Tim Legal Research and Analysis Hukumonline sebelumnya telah melakukan diskusi mengenai penerapan NEK lewat perdagangan karbon yang dilakukan melalui Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon). Analisis kami atas topik ini dapat diakses dalam ILD edisi berikut: “Pembentukan IDXCarbon sebagai Bursa Karbon di Indonesia: Memahami Ketentuan Operasional“.

 

C.    Sanksi Administratif yang Berlaku

Penting untuk dicatat bahwa ketidakpatuhan terhadap kewajiban atau larangan yang diuraikan dalam Perpres 14/2024 akan mengakibatkan pengenaan sanksi administratif. Rincian prosedur yang berlaku dalam hal ini akan ditetapkan dalam kerangka regulasi yang akan datang. Secara keseluruhan, bentuk-bentuk sanksi administratif yang berlaku bagi Kontraktor dan/atau pemegang Izin yang tidak patuh adalah sebagai berikut:[97]

 

Kesimpulan

Dalam gambaran yang lebih luas, Perpres 14/2024 berisi seperangkat ketentuan komprehensif yang secara khusus mengatur penyelenggaraan CCS, termasuk izin yang diperlukan dan kementerian pemerintah terkait yang terlibat dalam berbagai proses usaha yang berlaku. Selain itu, perlu diperhatikan juga bahwa pertimbangan yang diperlukan telah dibuat untuk memastikan bahwa ketentuan yang tercantum dalam Perpres 14/2024 akan menjamin kelestarian lingkungan operasi CCS.

Selain itu, koordinasi dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Menteri Kelautan dan Perikanan, juga akan diperlukan untuk menjamin keberlanjutannya. Terlepas dari lengkapnya ketentuan baru ini, para ahli lingkungan tetap khawatir bahwa operasi CCS pada akhirnya dapat menjadi alat untuk greenwashing dan berpotensi membuat Indonesia mundur dalam upaya memengaruhi transisi energi yang efektif. Namun, harapannya adalah bahwa ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang lebih lanjut dari Perpres 14/2024 akan dapat mengatasi kekhawatiran tersebut.

 

 

Sumber : hukumonline.com

Analisa Lainnya

KADIN INDONESIA

Indonesian Chamber of Commerce and Industry