Pendahuluan
Seiring dengan transisi Indonesia menuju era pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Terpilih Prabowo, ketahanan pangan akan menjadi prioritas nasional. [1] Salah satu tantangan yang paling mendesak untuk mencapai tujuan ini adalah jumlah mubazir pangan (food loss and waste) (secara bersama-sama disebut sebagai “FLW”) yang terus berlanjut di seluruh negeri. Meskipun Indonesia memiliki produksi pangan yang melimpah, sebagian besar penduduknya masih menghadapi kelaparan setiap harinya. Bersamaan dengan itu, miliaran ton makanan dibuang, yang kemudian memperparah krisis ini.
Di tingkat nasional, sisa pangan yang dihasilkan mengakibatkan kerugian ekonomi yang cukup besar, yaitu mencapai Rp. 213 – 551 triliun atau sekitar 4% – 5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Nilai gizi dari makanan yang terbuang ini dapat memberi makan sekitar 61 – 125 juta orang, yang mewakili hampir setengah dari populasi Indonesia.[2] Selain itu, menurut United Nations Environment Programme (UNEP), Indonesia menjadi penghasil sisa pangan teratas di Asia Tenggara dan keempat terbesar di dunia pada tahun 2021.[3]
Di tingkat internasional, Indonesia, sebagai negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), diharapkan dapat mencapai berbagai kewajibannya dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals – “SDG”). Dalam hal ini, pengurangan FLW telah ditetapkan sebagai target utama, khususnya SDG 12: Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab, yang bertujuan untuk mengurangi separuh sisa pangan di tingkat ritel dan konsumen pada tahun 2030 dan mengurangi susut pangan di sepanjang rantai pasokan.[4] Selain SDG 12, FLW juga berdampak pada SDG 2: Tanpa Kelaparan dan SDG 13: Penanganan Perubahan Iklim karena mengurangi sisa pangan memiliki manfaat sosial dan lingkungan yang signifikan.
Mengingat isu-isu tersebut, upaya yang diprakarsai oleh pemerintah untuk mengurangi FLW di Indonesia baru saja mulai terbentuk. Dalam hal ini, iterasi terbaru dari beberapa rencana pembangunan nasional yang mencakup Rencana Pembangunan Jangka Menengah (“RPJMN”) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (“RPJPN”) hanya secara singkat menyinggung masalah FLW. Adanya FLW dalam rencana strategis ini tentunya merupakan langkah awal yang penting, namun, tanpa implementasi peraturan perundang-undangan yang komprehensif dan mengikat serta infrastruktur yang diperlukan untuk memastikan akuntabilitas pelaku usaha, konsumen, dan pemangku kepentingan lainnya, perkembangannya akan tetap lambat. Dalam hal ini, prioritas ketahanan pangan oleh pemerintah mendatang menandakan niat politik yang baru, menawarkan jalan potensial demi tindakan yang lebih tegas.
Edisi Indonesian Law Digest (“ILD”) kali ini berupaya untuk meningkatkan kesadaran akan kesenjangan regulasi sembari menganalisis inisiatif yang saat ini telah ada dan mengajukan solusi yang terinspirasi dari praktik terbaik di dunia. Selain mengeksplorasi peran sektor bisnis dalam FLW, diskusi kami juga berisi wawasan dari pemangku kepentingan yang saat ini bekerja secara langsung di lapangan dan menangani masalah yang mendesak ini. Untuk memastikan diskusi yang komprehensif, analisis kami telah dibagi sebagai berikut:
I. FLW 101: Istilah Umum dan Statistik
II. Menelusuri Kesenjangan Regulasi: Kerangka yang Relevan dengan Sisa Pangan
A. Pengelolaan Sampah Secara Umum
B. Rencana Pembangunan Nasional
C. Tanggal Kedaluwarsa
III. Praktik Terbaik: Wawasan dari Negara Lain dan Kerangka Internasional
A. Praktik Negara
B. Kode Etik Internasional
IV. Solusi dan Peluang Bagi Pemangku Kepentingan
A. Inisiatif yang Tersedia
B. Keterlibatan Perusahaan: Mendorong Praktik yang Saling Menguntungkan
I. FLW 101: Istilah Umum dan Statistik
FLW menggambarkan kerugian ekonomi bagi semua pelaku di sepanjang rantai pasok pangan, termasuk konsumen. Namun, FLW dibedakan berdasarkan terjadinya penurunan kualitas dan/atau kuantitas pangan dalam rantai pasok. Tabel di bawah ini menjabarkan berbagai definisi yang digunakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (“Bappenas”) dan Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization) Perserikatan Bangsa-Bangsa (“FAO”) – dengan issue paper FAO yang juga mengidentifikasi jenis kerangka hukum yang paling mungkin berpengaruh pada setiap istilah:
Istilah | Susut Pangan dari Keputusan atau Tindakan … [5] | Keterangan | Pengaturan yang Memengaruhi[6] |
Susut pangan | Pelaku rantai pasok pangan dari produksi hingga, tetapi tidak termasuk, pengecer, penyedia jasa makanan, dan konsumen (“Susut Pangan”) | Dapat diakibatkan oleh tindakan non-manusia seperti serangan hama atau kondisi cuaca yang buruk[7] | Pengaturan yang mencakup pertanian dan rantai pasok pangan |
Sisa pangan | Pengecer, penyedia jasa makanan dan konsumen (“Sisa Pangan”) | Umumnya mengacu pada makanan yang masih dianggap aman dan layak untuk dikonsumsi manusia tetapi telah dibuang[8] | Pengaturan yang mencakup pengelolaan sampah, sumbangan makanan, serta keamanan dan kualitas pangan dan pakan |
Dalam hal rantai pasok pangan, perbedaan antara kedua istilah ini dapat divisualisasikan berdasarkan tahapan siklus pangan. Susut Pangan terjadi pada tahap produksi, pascapanen, dan pengolahan, sementara Sisa Pangan biasanya terjadi pada tahap ritel dan konsumsi. Di Indonesia, titik-titik kritis ini, terutama pada tahap konsumsi, menghasilkan sekitar 5-19 juta ton Sisa Pangan setiap tahunnya.[9]
Sebagaimana yang digambarkan dalam ilustrasi di atas, kelebihan pangan berasal dari berbagai sumber, mulai dari sawah, gudang, supermarket, hingga pelabuhan dan bandara. Namun, sistem yang ada saat ini masih kurang terorganisir dan perlu dilakukan perbaikan untuk mengoptimalkan redistribusi makanan melalui organisasi seperti bank makanan.[10]
Selain itu, dengan menganalisis komposisi sampah di Indonesia, terlihat bahwa sebagian besar dari total sampah terdiri dari FLW. Hal ini didukung oleh data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2023. Penjabaran FLW jika dibandingkan dengan jenis sampah lainnya dapat dilihat sebagai berikut:[11]
II. Menelusuri Kesenjangan Regulasi: Kerangka yang Relevan Dengan Sisa Pangan
Kerangka regulasi di Indonesia lebih banyak mengatur pengelolaan sampah setelah timbulannya, dengan sedikit sekali fokus pada pencegahan Sisa Pangan. Ketiadaan regulasi yang dapat ditegakkan ini menyebabkan pendekatan yang tidak konsisten oleh para pelaku usaha, yang banyak di antaranya tidak memprioritaskan pengelolaan Sisa Pangan. Untuk menjembatani kesenjangan ini, peraturan dan kebijakan berikut dapat dikembangkan dan menjadi dasar bagi peraturan yang lebih tepat sasaran.
A. Pengelolaan Sampah Secara Umum
Sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (“PP 81/2012”), produsen wajib menerapkan langkah-langkah untuk mengurangi timbulan sampah secara umum.[12] Langkah wajib tersebut diperjelas lagi dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah Oleh Produsen (“PermenLHK 75/2019”), yang mendefinisikan produsen sebagai bisnis dan/atau entitas yang bergerak di bidang manufaktur, jasa makanan dan minuman, dan ritel (secara bersama-sama disebut sebagai “Produsen”). Sektor-sektor Produsen ini selanjutnya dikategorikan sebagai berikut:[13]
Sektor | Jenis Industri |
Manufaktur | Industri makanan dan minuman |
Industri barang konsumsi (consumer goods) | |
Industri kosmetik dan perawatan tubuh (personal care) | |
Jasa Makanan dan Minuman | Restoran |
Kafe | |
Jasa Boga | |
Hotel | |
Ritel | Pusat perbelanjaan |
Toko modern | |
Pasar rakyat |
Meskipun Sisa Pangan tidak secara gamblang diatur dalam Peraturan yang disebutkan di atas, PermenLHK 75/2019 mengamanatkan bahwa kegiatan pengurangan sampah umum berikut ini wajib dilaksanakan oleh Produsen:[14]
Kegiatan Pengurangan Sampah | Deskripsi |
Pembatasan timbulan sampah | Menggunakan produk, kemasan, dan wadah yang mudah terurai secara alami dan meminimalkan timbulan sampah |
Menghindari penggunaan produk, kemasan, dan wadah yang sulit terurai secara alami | |
Pendauran ulang sampah | Menggunakan bahan baku yang dapat didaur ulang untuk keperluan produksi |
Menggunakan bahan daur ulang sebagai bahan baku untuk keperluan produksi | |
Pemanfaatan kembali sampah | Menggunakan bahan baku produksi yang dapat didaur ulang |
Dalam kerangka ini, pemerintah memperkenalkan berbagai insentif dan disinsentif yang relevan bagi Produsen. Insentif dapat diberikan dalam bentuk penghargaan dan pengakuan publik atas kinerja yang baik, sedangkan disinsentif dapat berupa publikasi laporan kinerja pengelolaan sampah yang tidak baik oleh Produsen.[15] Penghargaan yang disebutkan tersebut dapat diberikan berdasarkan beberapa kriteria, seperti yang diuraikan dalam tabel berikut:[16]
Subjek | Pertimbangan |
Meliputi:
|
Insentif, dalam bentuk penghargaan, diberikan berdasarkan:
|
B. Rencana Pembangunan Nasional
Sebagai landasan pembangunan nasional, pemerintah secara berkala merumuskan serangkaian rencana, termasuk RPJMN, yang menjabarkan visi, misi, dan program presiden terpilih. Agenda-agenda pembangunan nasional, yang merupakan turunan dari visi dan misi Presiden Joko Widodo, dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020 – 2024 (“Perpres 18/2020”), yang dijabarkan ke dalam beberapa arah kebijakan dan strategi.
Di antara ketentuan-ketentuan yang ada di dalam RPJMN 2020 – 2024 terdapat beberapa poin penting yang mendorong upaya pengelolaan Sisa Pangan, seperti yang dirangkum dalam tabel di bawah ini:
Agenda Pembangunan | Arah dan Strategi Kebijakan | Keterangan |
Memperkuat ketahanan ekonomi demi pertumbuhan yang merata dan berkualitas [17] | Pengelolaan sumber daya ekonomi melalui peningkatan akses dan ketersediaan serta kualitas konsumsi pangan | Strategi ini, yang mencakup peningkatan tata kelola sistem pangan nasional, meliputi:
|
Menciptakan lingkungan yang berkelanjutan, meningkatkan ketahanan terhadap bencana, dan mengatasi perubahan iklim[18] | Pembangunan rendah karbon melalui optimalisasi pengelolaan limbah dan pengembangan industri hijau | Strateginya meliputi:
|
Target pengurangan sampah yang sebelumnya ditetapkan dalam RPJMN 2015 – 2019 tidak sepenuhnya tercapai,[19] mendorong pemerintah untuk mencapai tujuan yang lebih ambisius melalui RPJMN 2020 – 2024. Target yang sekarang bertujuan untuk mengurangi sampah rumah tangga sebesar 30% dan mengelola 70% sampah dari area komersial, industri, dan publik pada tahun 2025, yang akan dicapai melalui Kebijakan Dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (“Jakstranas”). Target dan strategi ini diuraikan lebih lanjut dalam Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017 (“Perpres 97/2017”).[20]
Meskipun Sisa Pangan menyumbang cukup banyak keseluruhan sampah, ketentuan yang secara khusus mengatur Sisa Pangan masih belum dimasukkan ke dalam Jakstranas. Sejalan dengan statistik yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, laporan dari periode 2019 – 2023 menunjukkan bahwa 44% – 46% dari total sampah yang dihasilkan, yang berarti rata-rata sekitar 116.000 – 123.000 ton per kabupaten/kota per tahun, adalah Sisa Pangan.[21] Akibatnya, tanpa adanya langkah-langkah signifikan yang mampu menangani Sisa Pangan, pencapaian target pengurangan sampah yang ditetapkan dalam Jakstranas dan RPJMN 2020 – 2024 akan menjadi tantangan yang serius.
Di sisi positifnya, Rancangan Undang-Undang tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN) 2025 – 2045 mencakup agenda yang lebih spesifik yang bertujuan untuk mengurangi FLW secara keseluruhan dan menargetkan pengurangan sebesar 75% pada tahun 2045.[22] Agenda ini akan didukung oleh kebijakan pembangunan infrastruktur yang bertujuan untuk memfasilitasi transformasi ekonomi, termasuk mengoptimalkan pemanfaatan kembali sampah organik dan FLW melalui kemitraan dengan offtaker.[23]
C. Tanggal Kedaluwarsa
Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“UU 18/2012”), setiap orang yang memproduksi atau mengimpor pangan di Indonesia wajib mencantumkan label pada atau di dalam kemasan yang mencantumkan informasi tertentu, termasuk tanggal kedaluwarsa (“Tanggal Kedaluwarsa”).[24] Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan (“PP 69/1999”), mengamanatkan bahwa semua Tanggal Kadaluwarsa harus dicantumkan dengan jelas pada label, khususnya setelah frasa “Baik digunakan sebelum.”[25]
Selain kerangka peraturan yang disebutkan di atas, persyaratan ini juga diperkuat oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU 8/1999”)[26], serta Peraturan Menteri Kesehatan No. 180 Tahun 1985 tentang Makanan Daluwarsa (“Permenkes 180/1985”),[27] yang memberikan sanksi atas ketidakpatuhan. Peraturan-Peraturan yang komprehensif ini membantu memastikan bahwa produsen dan importir bertanggung jawab atas penyediaan informasi kedaluwarsa yang jelas, serta mempromosikan keamanan pangan dan perlindungan konsumen.
Selain memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan masyarakat, Peraturan-Peraturan tersebut juga berfungsi sebagai alat yang penting dalam upaya mengurangi Sisa Pangan. Salah satu perbaikan yang dapat diterapkan dalam hal ini adalah dengan memberikan perbedaan yang jelas antara tanggal “Baik digunakan sebelum” dan “Use by” – sebuah praktik yang telah diadopsi oleh Uni Eropa dan Inggris. Tabel di bawah ini menjabarkan perbedaan antara kedua jenis label tersebut: [28]
Jenis Label | Keterangan |
Baik digunakan sebelum | Menunjukkan kualitas makanan dan tidak selalu berarti bahwa makanan tersebut tidak aman dikonsumsi setelah tanggal tertentu. Konsumen dianjurkan untuk menggunakan indera mereka (misalnya penciuman atau rasa) untuk menentukan apakah makanan tersebut masih baik setelah tanggal “baik digunakan sebelum.” Praktik ini membantu mengurangi sisa pangan yang tidak perlu, karena banyak produk yang masih dapat dimakan dengan baik setelah tanggal “baik digunakan sebelum” berlalu. |
Use by | Menunjukkan keamanan makanan dan harus diikuti dengan ketat. Makanan tidak boleh dikonsumsi setelah tanggal ini, meskipun terlihat baik-baik saja. |
Sampai saat ini, Peraturan Perundang-undangan nasional tidak mengakui perbedaan ini, dan banyak konsumen tetap tidak menyadari bahwa frasa “Baik digunakan sebelum” mengacu pada kualitas makanan dan bukan keamanan, yang berarti bahwa makanan masih dapat dikonsumsi setelah tanggal yang bersangkutan berlalu. Jika perbedaan ini diperkenalkan dan disebarluaskan dengan baik, maka tidak diragukan lagi akan meningkatkan pemahaman konsumen tentang label makanan, dan membantu mencegah pembuangan produk makanan yang masih aman dikonsumsi setelah melewati tanggal “baik digunakan sebelum.”[29]
III. Praktik Terbaik: Wawasan dari Negara Lain dan Kerangka Internasional
A. Praktik Negara
Seperti yang telah disebutkan di bagian sebelumnya, Indonesia saat ini hanya memiliki beberapa kerangka regulasi yang mengatur pengelolaan sisa pangan dan tanggal kedaluwarsa. Hal ini dapat ditekankan lebih lanjut melalui perbandingan antara kebijakan pengelolaan FLW di berbagai negara, seperti yang dilaporkan oleh Bappenas dengan mengacu pada FAO.[30] Banyak negara lain yang telah menerapkan berbagai jenis kerangka regulasi, beberapa di antaranya dirangkum dalam tabel berikut:
Jenis Pengaturan | Negara | Nama Peraturan | Poin Ketentuan |
Regulasi keamanan pangan tentang donasi | India[31] | Food Safety and Standards (Recovery and Distribution of Surplus Food) Regulation |
|
Perlindungan hukum bagi donatur*. | Amerika[32] | The Bill Emerson Good Samaritan Food Donation Act (1996) | Melindungi donatur makanan dan organisasi pendistribusi dari tuntutan hukum, selama proses donasi dilakukan dengan itikad baik dan tanpa kelalaian. |
Insentif pajak bagi donatur*. | Filipina[33] | The Food Donation Act and Food Waste Reduction Act | Restoran dibebaskan dari pajak sumbangan dan tidak bertanggung jawab atas makanan yang disumbangkan. |
Australia[34] | The National Food Donation Tax | Menawarkan potongan pajak untuk usaha yang menyumbangkan makanan dan layanan penting, seperti pendinginan dan transportasi, kepada organisasi penyelamat makanan. | |
Kewajiban donasi pangan* | Pakistan[35] | Disposal of Excess Food Act (2019) | Mewajibkan operator makanan dan semua pihak yang terlibat dalam produksi, penyimpanan, dan/atau distribusi makanan untuk menyumbangkan kelebihan pangan kepada penerima yang ditetapkan. |
Polandia[36] | Act 2019/1680 on counteracting food waste | Penjual makanan wajib membuat kontrak dengan lembaga swadaya masyarakat tentang pengalihan gratis makanan yang memenuhi persyaratan hukum pangan dan yang tidak dimaksudkan untuk dijual, khususnya, karena cacat makanan atau kemasan. | |
Larangan khusus atau denda pembuangan Sisa Pangan sebagai TPA | Korea Selatan | Waste Control Act |
|
China[39] | Anti-Food Waste Law Republik Rakyat Cina | Mempromosikan kampanye “Clean Plate”, yang bertujuan untuk mengurangi sisa kelebihan pangan, yang memungkinkan restoran untuk mengenakan biaya tambahan untuk Sisa Pangan yang berlebihan. Restoran yang menghasilkan Sisa Pangan dalam jumlah besar juga dapat dikenai denda. | |
Strategi nasional pengurangan susut pangan | Thailand[40] | Food Waste Management Plan | Bertujuan untuk mencegah timbulan Sisa Pangan melalui perencanaan permintaan yang lebih baik dan mendorong donasi ke bank makanan dan tempat penampungan bagi mereka yang membutuhkan. |
Persyaratan pelaporan wajib untuk pelaku rantai pasok pangan | Uzbekistan[41] | Decree No. 574/2021 of the Cabinet of Ministers
|
Mewajibkan entitas agroindustri untuk menerapkan langkah-langkah yang bertujuan untuk mengurangi kehilangan hasil pertanian dan pangan, termasuk pelaporan wajib mengenai tingkat stok pangan. |
Pendaftaran dan sertifikasi bank makanan* | Amerika | Feeding America[42] | Membangun jaringan nasional bank makanan bersertifikat yang mematuhi protokol keamanan pangan dan distribusi yang terstandardisasi, memastikan kemitraan yang kredibel dengan para donatur. |
Uni Eropa | European Food Banks Federation (FEBA)[43] | ||
Lainnya | Singapura[44] | The Resource Sustainability Act (2019) | Mewajibkan bangunan komersial dan industri (mis. mall, hotel, dan pabrik) untuk memisahkan Sisa Pangan untuk tujuan pengolahan sampah di lokasi atau di luar lokasi dan juga menetapkan berbagai kewajiban persyaratan pelaporan. |
Seperti yang ditunjukkan oleh tabel di atas, upaya legislatif yang bertujuan untuk mengurangi dampak negatif Sisa Pangan tidak hanya menjadi tren di negara-negara maju, tetapi juga sedang diupayakan oleh negara-negara berkembang dan negara-negara tetangga Indonesia. Jika dibandingkan, kurangnya Peraturan yang relevan di Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia tertinggal jauh dalam mencanangkan upaya-upaya tersebut.
Mengingat bahwa Indonesia masih jauh dari penegakan hukum yang mampu mendukung pengurangan FLW, organisasi nirlaba saat ini mendesak pemerintah melalui audiensi publik dan diskusi untuk merancang dan mengesahkan Peraturan yang relevan. Di antara berbagai jenis peraturan yang diperlukan dan yang sedang diupayakan oleh negara lain, yang ditandai dengan tanda bintang (*) pada tabel di atas disorot sebagai poin utama selama wawancara yang kami lakukan dengan bank makanan lokal di Indonesia.
B. Kode Etik Internasional
FAO telah mengembangkan instrumen global yang tidak mengikat secara hukum: Voluntary Code of Conduct for FLW Reduction (“CoC FLW”), yang telah disahkan oleh Konferensi FAO pada bulan Juni 2021. CoC FLW memberikan panduan bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan nasional yang bertujuan untuk mengurangi FLW. Tabel di bawah ini merangkum dua ketentuan utama dari pedoman tersebut: [45]
Ketentuan | Isi |
Ayat 4.8.1 | Pemerintah harus menetapkan kerangka legislatif yang memadai yang mengharuskan atau mendorong pelaku rantai pasok pangan untuk mengadopsi praktik-praktik berbasis ilmu pengetahuan dan melakukan investasi yang bertujuan untuk mengurangi FLW. |
Ayat 4.8.2 | Pemerintah harus mempromosikan kebijakan yang mendukung, serta lingkungan hukum dan kelembagaan, termasuk perlindungan yang diperlukan, untuk mendorong investasi yang bertanggung jawab oleh para pelaku rantai pasok pangan. |
Ketentuan-ketentuan yang dirangkum di atas menyoroti kebutuhan Indonesia menciptakan lingkungan regulasi dan kelembagaan yang kondusif dan mampu menangani FLW. Dalam hal ini, CoC FLW juga dapat berfungsi sebagai panduan dasar untuk pengembangan kerangka nasional di masa depan, khususnya dengan mendorong investasi yang bertanggung jawab dan praktik-praktik berbasis ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mengurangi sampah makanan di seluruh rantai pasokan.
IV. Solusi dan Kesempatan untuk Pemangku Kepentingan
A. Inisiatif yang Tersedia
Meskipun saat ini belum ada Peraturan yang mewajibkan, beberapa inisiatif telah membuat kemajuan menuju pengelolaan kelebihan pangan yang lebih baik. Salah satu upaya utama yang dipimpin oleh pemerintah dalam hal ini adalah Gerakan Selamatkan Pangan (“GSP”), yang diluncurkan oleh Badan Pangan Nasional pada tahun 2022. Inisiatif ini dapat diimplementasikan di tingkat pemerintah daerah dan bertujuan untuk mengurangi Sisa Pangan melalui kolaborasi antara usaha, bank makanan, dan masyarakat. GSP telah berkembang hingga 38 provinsi, menghemat lebih dari 52 ton kelebihan pangan dan memanfaatkan dukungan logistik seperti truk makanan untuk tujuan distribusi ulang.[46]
Selain upaya pemerintah, berbagai organisasi nirlaba dan entitas swasta telah memperkenalkan sejumlah program berdampak yang bertujuan untuk memfasilitasi pengelolaan kelebihan pangan. Tabel di bawah ini merangkum beberapa inisiatif yang sedang berlangsung dan berbagai pemangku kepentingannya:
Penyelenggara | Lokasi | Program Utama |
Aksata Pangan | Medan | Aksata Pangan adalah anggota dari Global Food Banking Network. Program-program utamanya meliputi Food Stamps, Food Heroes, Food Pantry, dan Food Drive. Aksata Pangan berkolaborasi dengan hotel, peritel, dan petani untuk menyumbang kelebihan pangan. |
Surplus | Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Bali, Surabaya | Surplus beroperasi melalui sebuah aplikasi yang memungkinkan bisnis untuk menjual pangan berlebih dengan harga 50% dari harga aslinya. Program-program tambahannya meliputi pendidikan sadar pangan, pemberdayaan komunitas dan donasi pangan berlebih. |
FoodCycle Indonesia | Jakarta | FoodCycle menyelamatkan makanan dari acara-acara, toko roti, makan siang perusahaan, supermarket, dan FMCG sebelum mendistribusikannya ke komunitas yang kurang terlayani. FoodCycle juga menjalankan program pemberdayaan masyarakat seperti FoodCycle Farm. |
Food Bank Bandung | Bandung | Misi Food Bank Bandung adalah untuk meningkatkan ketahanan pangan bagi masyarakat yang kurang mampu dan mengurangi sisa pangan. Selain itu, mereka juga memberikan edukasi mengenai pencegahan dan penyimpanan pangan berlebih. |
Scholars of Sustenance (“SOS”) | Bali, Jakarta | SOS berfokus pada penyelamatan pangan berlebih dan mendistribusikannya kepada mereka yang membutuhkan. Program utama mereka meliputi Penyelamatan Makanan, Dapur Penyelamatan dan Sekolah Sehat, yang melibatkan kolaborasi dengan hotel, supermarket, toko roti, produsen dan petani. |
B. Keterlibatan Perusahaan: Mendorong Praktik yang Saling Menguntungkan
Siti Suci Larasati, Founder dan Chief Executive Officer Aksata Pangan, menjelaskan dalam wawancara kami dengan beliau bahwa banyak perusahaan, terutama perusahaan besar, menjadikan donasi pangan berlebih sebagai bagian integral dari operasi mereka. Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa upaya-upaya ini terutama didorong oleh audit keberlanjutan dan laporan Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (Environmental, Social and Governance – “ESG”), yang dapat mencakup penilaian pengelolaan makanan berlebih. Perusahaan tingkat dunia seperti Nestle, misalnya, terikat oleh kebijakan keberlanjutan perusahaan yang secara khusus menangani pengurangan FLW.
Namun, berbagai tantangan tetap ada bagi bisnis dengan skala yang lebih kecil, serta usaha mikro, kecil, dan menengah (“UMKM”), yang sering kali tidak memiliki kesadaran dan sumber daya yang diperlukan untuk memprioritaskan pengurangan FLW. Sementara perusahaan besar didorong oleh standar ESG tingkat dunia, UMKM cenderung lebih fokus pada kelangsungan hidup sehari-hari dan mungkin tidak menyadari manfaat jangka panjang pengurangan FLW. Dalam hal ini, menyelaraskan pengelolaan pangan berlebih dengan Peraturan di tingkat nasional dapat mendorong praktik-praktik yang lebih baik. Salah satu langkah utama di sini adalah memastikan bahwa makanan yang masih layak konsumsi tidak dibuang ala kadarnya, yang dapat dicapai melalui pengenalan kebijakan yang menawarkan insentif untuk mengurangi sisa pangan dan hukuman untuk sampah yang berlebihan.
Selain mengharapkan adanya peraturan dan kebijakan yang lebih jelas, bank makanan, yang bertindak sebagai perantara, secara umum memberikan manfaat seperti pengakuan publik, nilai kolektif, dan sertifikat yang dapat meningkatkan reputasi bisnis yang berpartisipasi. Untuk UMKM, penting untuk menekankan bahwa integrasi aktif inisiatif pengurangan FLW ke dalam praktik pengelolaan mereka dapat memberikan manfaat bagi bisnis dan lingkungan.[47]
Kesimpulan
Seiring dengan upaya Indonesia meningkatkan ketahanan pangan di bawah kepemimpinan yang baru, penanganan masalah FLW harus menjadi prioritas. Dengan jutaan ton makanan yang terbuang setiap tahunnya dan kerugian ekonomi yang terus meningkat, Indonesia tidak bisa lagi menunda-nunda tindakan. Meskipun inklusi FLW dalam rencana pembangunan nasional Indonesia dipandang sebagai langkah yang menggembirakan, namun perangkat hukum yang diperlukan untuk mendorong perubahan di semua sektor masih kurang.
Dengan mengadopsi praktik-praktik terbaik di tingkat dunia dan belajar dari model internasional yang berhasil, Indonesia memiliki peluang yang signifikan untuk mengurangi FLW dan berkontribusi pada SDG. Dalam hal ini, keberhasilan akan bergantung pada kesadaran kolektif dan keterlibatan semua pemangku kepentingan, yang mencakup pelaku usaha, pembuat kebijakan, dan konsumen. Baik melalui peningkatan pengelolaan pangan oleh industri maupun konsumsi yang lebih bijaksana di tingkat individu, semua orang memiliki peran dalam mengatasi krisis Sisa Pangan yang sedang berlangsung.
Sumber: hukumonline.com