Pada 22 November 2023, Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) menyetujui Rancangan Undang-Undang (“RUU”) tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang sebelumnya telah diubah dengan Undang-Undang No. 19 tahun 2016 (selanjutnya disebut “UU 11/2008”), dan akan dibahas lebih lanjut dalam rapat paripurna mendatang.
Berdasarkan persetujuan tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika (“Menkominfo”) menegaskan bahwa RUU ini berfungsi sebagai kerangka peraturan yang lebih komprehensif, yang diharapkan dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang disebabkan multitafsir serta hal-hal kontroversial di kalangan masyarakat Indonesia. Selain itu, RUU juga akan menyelaraskan sanksi pidana dan administratif yang awalnya tercantum dalam UU 11/2008 agar sejalan dengan yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”).
Pada saat Indonesian Legal Brief (“ILB”) ini disusun, RUU memuat perubahan 14 pasal yang ada serta penambahan lima pasal baru mengenai sektor informasi dan transaksi elektronik. Perubahan yang terdapat dalam RUU ini secara garis besar mencakup aspek-aspek berikut:
Berdasarkan latar belakang di atas, ILB edisi ini akan merangkum ketentuan-ketentuan baru dalam RUU, khususnya yang terkait dengan perihal berikut:
- PSrE: Perubahan Status Hukum dan Klarifikasi Pelayanan;
- Kewajiban Baru Penyelenggara Sistem Elektronik (“PSE”): Melindungi Pengguna Anak;
- Kontrak Internasional yang Mengandung Klausul Baku;
- Tindakan Penegakan Hukum Baru; dan
- Penyesuaian Larangan.
PSrE: Perubahan Status Hukum dan Klarifikasi Pelayanan
Berdasarkan UU 11/2008, PSrE diklasifikasikan ke dalam PSrE Indonesia atau PSrE asing. Klasifikasi tersebut mewajibkan badan terkait berbentuk badan hukum Indonesia yang berdomisili di Indonesia (untuk PSrE Indonesia) atau terdaftar di Indonesia (untuk PSrE asing). Akan tetapi, klasifikasi tersebut tidak lagi dimuat dalam RUU. RUU hanya mengatur PSrE yang beroperasi di Indonesia harus berbadan hukum Indonesia dan berdomisili di Indonesia, dan menghilangkan persyaratan pendaftaran yang sebelumnya berlaku untuk PSrE asing.
Namun demikian, RUU mengecualikan persyaratan berbadan hukum Indonesia bagi PSrE yang menyelenggarakan layanan sertifikasi elektronik (“Sertifikasi”) yang belum tersedia di Indonesia. Selain itu, RUU juga menetapkan bahwa pengakuan timbal balik (mutual recognition) untuk mengenali Sertifikasi antarnegara akan dilakukan sesuai dengan perjanjian kerja sama. Perlu diketahui, meskipun tidak diatur dalam UU 11/2008, ketentuan mengenai pengakuan timbal balik Sertifikasi antarnegara telah diatur dalam Peraturan Menkominfo No. 11 tahun 2022 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik (“Permenkominfo 11/2022”).
Selain perihal di atas, RUU kini menetapkan batasan yang jelas mengenai kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh PSrE, yang mencakup layanan berikut:
Meskipun versi RUU saat ini tidak menguraikan lebih lanjut mengenai aspek-aspek PSrE serta layanannya yang dijelaskan di atas, ketentuan lebih lanjut mengenai hal-hal tersebut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Kewajiban Baru PSE: Melindungi Pengguna Anak
Pada saat berlaku, RUU mewajibkan PSE untuk menjamin perlindungan bagi setiap anak yang menggunakan atau mengakses Sistem. Kewajiban perlindungan serta berbagai tindakannya harus menerapkan teknologi dan langkah teknis operasional, yang dilakukan mulai dari tahap pengembangan hingga penyelenggaraan Sistem. Untuk menjamin perlindungan anak, PSE wajib menyediakan:
Jika tidak mematuhi kewajiban di atas, maka PSE dapat dikenakan sanksi administratif mulai dari teguran tertulis hingga penghentian akses. Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan anak dan sanksi yang berlaku akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Kontrak Internasional yang Mengandung Klausul Baku
Sebagaimana saat ini diatur dalam UU 11/2008, seluruh Transaksi yang telah dituangkan dalam kontrak elektronik mengikat kedua pihak dalam kontrak. Namun, RUU menetapkan bahwa semua Kontrak Internasional yang disusun oleh PSE dan menggunakan klausula baku harus mematuhi hukum Indonesia dengan ketentuan:
Perlu dicatat, Kontrak Internasional tersebut harus menggunakan bahasa yang sederhana, jelas, dan mudah dipahami dengan tetap menjunjung tinggi prinsip itikad baik dan transparansi.
Tindakan Penegakan Hukum Baru
UU 11/2008 saat ini mewajibkan pemerintah untuk mencegah penyebaran informasi dan/atau dokumen elektronik yang melanggar hukum. Namun, RUU akan memperluas cakupan kewenangan ini, dengan mengizinkan pemerintah untuk memerintahkan PSE agar menghentikan akses dan/atau memoderasi konten terhadap informasi dan/atau dokumen elektronik yang memuat konten berikut:
Selain itu, RUU juga memberi wewenang kepada pemerintah untuk memerintahkan PSE untuk melakukan penyesuaian terhadap Sistemnya dan/atau mengambil tindakan tertentu, dengan tujuan menciptakan ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif. Oleh karena itu, PSE wajib mematuhi perintah tersebut, dan jika melanggar perintah yang diberikan maka akan dikenakan sanksi administratif.
Penyesuaian Larangan
Dibandingkan dengan UU 11/2008, RUU melakukan beberapa penyesuaian terhadap perbuatan yang dilarang, serta sanksi pidana atas larangan tersebut. Perbandingan antara larangan yang diatur dalam RUU dan UU 11/2008 disajikan dalam tabel berikut:
Selain penyesuaian di atas, RUU juga menetapkan sejumlah larangan tambahan, antara lain sebagai berikut:
Penting untuk dicatat, meskipun larangan-larangan yang diberi tanda bintang (*) pada diagram di atas tampak seperti baru dimuat dalam RUU, larangan-larangan tersebut sebelumnya telah ditetapkan sebagai pedoman implementasi UU 11/2008, yang dituangkan dalam Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri No. 229 tahun 2021, No. 154 of 2021 and No. KB/2/VI/2021 (“Keputusan Bersama”).
Sumber : hukumonline.com