Pendahuluan
Indonesia masih menghadapi beberapa isu penting terkait upaya untuk memastikan kesejahteraan ibu dan anak. Sebagai contoh, angka kelahiran, kematian bayi, dan stunting masih tinggi. Selain itu, ketentuan mengenai kesejahteraan ibu dan anak yang berlaku di Indonesia masih tersebar di berbagai kerangka hukum dan belum mengakomodasi kebutuhan dan dinamika masyarakat Indonesia. Dalam upaya untuk mengatasi masalah yang sangat penting ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase Seribu Hari Pertama (“RUU KIA”).[1]
RUU KIA terdiri dari sembilan bab dan 46 pasal yang, secara umum, membahas ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk berbagai pemangku kepentingan dalam upaya memastikan kesejahteraan ibu dan anak. Selain itu, RUU KIA juga mengatur hak-hak yang diakui bagi ibu dan anak, serta kewajiban para pemangku kepentingan terkait.
RUU KIA juga diharapkan dapat menjadi dasar bagi pengenalan kerangka peraturan lebih lanjut yang secara khusus membahas pelindungan ibu dan anak. Memang, sebagaimana diamanatkan dalam RUU KIA itu sendiri, beberapa instrumen hukum diharapkan akan diterbitkan dalam dua tahun ke depan sebagai kerangka pelaksanaan RUU KIA. Peraturan-peraturan baru ini antara lain:[2]
- Peraturan Pemerintah tentang Dukungan Penyelenggaraan Kesejahteraan Ibu dan Anak[3];
- Peraturan Pemerintah tentang Perencanaan, Pelaksanaan, Pembinaan, Pengawasan dan Evaluasi[4];
- Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Data dan Informasi Kesejahteraan Ibu dan Anak[5]; dan
- Peraturan Presiden tentang Koordinasi Lintas Sektor dan Fungsi[6].
Hukumonline sebelumnya telah mengkaji perkiraan dampak dari RUU KIA terhadap pmberi kerja dengan memberikan analisis komparatif antara ketentuan yang diatur dalam RUU KIA dan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan perubahannya (secara bersama-sama disebut “UU Ketenagakerjaan”), yang dapat dapat diakses melalui “RUU KIA: Kado untuk Ibu Bekerja, Tantangan bagi Pemberi Kerja”. Pembahasan sebelumnya ini mengidentifikasi sejumlah persoalan yang belum tertangani dalam RUU KIA dan hal ini akan dibahas dalam Indonesian Law Digest edisi kali ini, bersama dengan hal-hal penting mengenai hak-hak yang diakui dan kewajiban terkait yang telah dikenalkan dalam kerangka RUU KIA. Perlu diketahui juga bahwa pembahasan kami didukung oleh sejumlah perspektif di lapangan yang telah disampaikan oleh para ahli di bidang ketenagakerjaan dan perselisihan industrial.
Untuk memberikan pembahasan yang komprehensif dan menyeluruh bagi pembaca mengenai isu-isu penting tersebut, edisi Indonesian Law Digest (ILD) kali ini dibagi sebagai berikut:
I. Memahami Hak dan Kewajiban dalam RUU KIA
A. Hak-hak Ibu dan Anak yang Diakui
B. Kewajiban yang Berkaitan dengan Pihak-Pihak Terkait
II. Isu-isu yang Belum Tertangani dalam RUU KIA Saat Ini
A. Cuti Melahirkan dan Cuti Ayah: Kepastian Hukum dan Implikasinya
B. RUU KIA: Memberdayakan atau Berisiko?
C. Standar yang Berlaku untuk Mengakomodasi Hak Ibu Bekerja
I. Memahami Hak dan Kewajiban dalam RUU KIA
A. Hak Ibu dan Anak yang Diakui
Sebagaimana diuraikan secara singkat di atas, RUU KIA memuat sejumlah hak yang dapat dinikmati oleh semua ibu, ibu bekerja, dan anak. Selain itu, guna menunjang kesejahteraan ibu dan anak, RUU KIA juga mengatur sejumlah hak yang diakui bagi suami dan keluarga. Tabel di bawah ini menyajikan ringkasan hak-hak yang diakui bagi ibu dan anak, serta anggota keluarga lainnya:
Pihak | Hak |
Semua ibu[7] | Semua ibu berhak untuk:
|
Ibu bekerja[8] | Selain hak-hak yang disebutkan di atas yang berlaku bagi semua ibu, penting untuk digarisbawahi bahwa ibu yang bekerja secara khusus juga memiliki hak-hak berikut:
Perlu dicatat bahwa selama masa cuti melahirkan, ibu yang bekerja berhak menerima upah sesuai dengan perhitungan berikut:[9]
Selain itu, perlu dicatat bahwa ketika menikmati hak-hak yang dijelaskan di atas, ibu yang bekerja tidak boleh diberhentikan dari pekerjaannya dan harus mendapatkan hak-haknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Ibu yang bekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja dan/atau tidak mendapatkan hak-haknya juga akan mendapatkan bantuan hukum dari pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah terkait.[10] |
Anak[11] | Semua anak berhak untuk:
Selain itu, ketentuan-ketentuan berikut yang berkaitan dengan hak-hak anak juga harus digarisbawahi:[12]
|
Suami/keluarga[13] | Suami berhak menikmati cuti berikut ini untuk dapat menghabiskan waktu bersama isterinya:
Selain cuti melahirkan, suami juga berhak menikmati waktu yang cukup untuk mendampingi istri dan/atau anaknya dengan ketentuan sebagai berikut:*
|
Selain berbagai hak yang diuraikan di atas, ibu penyandang disabilitas juga berhak memperoleh berbagai hak, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan khusus yang mencakup penyandang disabilitas, termasuk Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.[14]
Perlu diketahui juga bahwa hak ibu dan anak yang diakui, yang secara khusus diatur dalam RUU KIA versi 2024, telah disesuaikan dengan RUU KIA versi 2022 sebelumnya. Dalam hal ini, meskipun beberapa hak masih dipertahankan, sejumlah revisi signifikan kini juga telah dilakukan dalam RUU KIA versi 2024. Pada tabel hak di atas, poin yang diberi tanda bintang (*) merupakan ketentuan baru dan penyesuaian yang sebelumnya tidak tercantum dalam RUU KIA versi 2022. (lihat: RUU KIA dan Cuti Bersalin: Menjamin Hak Perempuan dan Anak vs Diskriminasi di Tempat Kerja). RUU KIA lebih lanjut menjelaskan bahwa hak untuk mendapatkan cuti melahirkan dan menerima upah selama cuti melahirkan merupakan hak pekerja yang berlaku sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.[15] Oleh karena itu, perlu diperhatikan bahwa apabila terjadi pelanggaran terhadap pelaksanaan hak cuti melahirkan, maka pemberi kerja akan dikenakan sanksi pidana sebagai berikut:[16]
- Pidana penjara berkisar antara satu tahun sampai empat tahun; dan/atau
- Denda mulai dari Rp. 100 juta hingga Rp. 400 juta
B. Kewajiban Pihak Terkait
Seiring dengan hak-hak yang diakui seperti diuraikan di atas, RUU KIA menetapkan sejumlah kewajiban yang berlaku bagi ibu dan ayah terkait kesejahteraan anak dan ibu secara keseluruhan. Selain itu, kewajiban tertentu juga berlaku bagi pelaku usaha guna menjamin terpenuhinya hak-hak ibu dan anak yang diakui. Sebelum membahas secara spesifik topik berbagai kewajiban pelaku usaha, berikut adalah kewajiban yang berlaku bagi ibu dan ayah:[17]
|
|
Kewajiban yang disebutkan di atas merupakan tanggung jawab bersama antara ibu dan ayah. Selain itu, konsekuensi berikut juga akan berlaku sehubungan dengan kewajiban yang dijelaskan di atas:[18]
- Apabila ibu tidak mampu memberikan ASI eksklusif kepada anaknya, maka ASI eksklusif dapat diberikan oleh pendonor ASI;
- Apabila seorang ibu atau ayah meninggal dunia, terpisah dari anak-anaknya, atau tidak mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut di atas secara medis, maka kewajiban-kewajiban tersebut ditanggung oleh ayah, ibu dan/atau keluarga yang masih hidup; dan
- Apabila ibu, ayah, dan keluarganya meninggal dunia, berpisah dengan anaknya, atau tidak sanggup melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut di atas, maka kewajiban-kewajiban tersebut ditanggung oleh keluarga pengganti atau negara melalui lembaga asuhan anak sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Selain ibu dan ayah yang berkontribusi langsung terhadap kesejahteraan anak-anaknya, RUU KIA juga memuat sejumlah kewajiban dan tugas yang berlaku bagi berbagai pemangku kepentingan, sebagaimana dirangkum dalam tabel di bawah ini:
Pemangku Kepentingan | Kewajiban dan Tugas | Sanksi |
Pemerintah | Pemerintah wajib melaksanakan delapan tugas khusus, antara lain:[19]
|
– |
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan pengetahuan, edukasi, dan pendampingan yang berkaitan dengan kesejahteraan ibu dan anak, dan sesuai dengan kebutuhannya.[20] | ||
Pelayanan kesehatan dan gizi[21] | Harus diberikan melalui fasilitas kesehatan yang memenuhi standar yang ditentukan dalam Peraturan Perundang-undangan terkait. | Administratif[22] |
Pelayanan keluarga berencana[23] | Penyedia harus memberikan kemudahan akses layanan bagi ibu dan ayah, yang setidaknya mencakup bidang-bidang berikut:
Selanjutnya, pelayanan keluarga berencana harus diberikan sesuai dengan standar yang berlaku, serta sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. |
Administratif (yaitu teguran lisan atau tertulis)[24] |
Layanan kesejahteraan sosial[25] | Pelayanan kesejahteraan sosial diberikan dalam bentuk rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan pelindungan sosial yang harus memprioritaskan ibu dan anak, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang kesejahteraan sosial. | – |
Pelayanan administrasi sipil[26] | Penyedia harus memberikan kemudahan akses layanan bagi anak dalam rangka pemberian identitas pribadi dan status kewarganegaraan. | – |
Pelayanan keagamaan, bimbingan perkawinan dan keluarga[27] | Pelayanan harus dilaksanakan sesuai dengan standar yang berlaku serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan setidaknya mencakup pelayanan sebagai berikut:
|
– |
Pemberi kerja, penyedia dan pengelola sarana dan prasarana[28] | Pihak-pihak tersebut harus memberikan kemudahan penggunaan sarana dan prasarana bagi ibu dan anak, yang diwujudkan melalui akomodasi, sarana dan prasarana penunjang di tempat kerja, ruang publik, dan transportasi umum.
Tiga kegiatan wajib yang harus disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja, yaitu fasilitas layanan kesehatan, fasilitas ruang laktasi, dan fasilitas penitipan anak. Sedangkan fasilitas di ruang publik dan transportasi umum meliputi ruang laktasi, ruang penitipan anak, tempat penitipan anak, tempat bermain anak dan/atau tempat duduk prioritas atau loket khusus.
Selain berbagai fasilitas dan jenis akomodasi yang diuraikan di atas, dukungan terhadap ibu bekerja dari pemberi kerja juga harus diberikan dalam bentuk penyesuaian tugas, jam kerja dan/atau ruang kerja yang mempertimbangkan kondisi dan target capaian kerja. |
Pembinaan dan/atau sanksi administratif[29] |
Layanan hukum[30] | Penyedia layanan harus menjamin kemudahan akses layanan bagi ibu dan anak yang menghadapi permasalahan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. | – |
Salah satu ketentuan yang paling disorot dalam RUU KIA adalah kewajiban pemberi kerja untuk menyediakan akomodasi, sarana dan prasarana yang layak bagi ibu dan anak di tempat kerja, dengan tambahan peringatan bahwa pemberi kerja juga harus memfasilitasi pekerjanya dengan menyesuaikan penugasan atau beban kerja, jam kerja, dan ruang kerja. Saat ini, UU Ketenagakerjaan tidak secara eksplisit mengamanatkan kewajiban untuk menyediakan fasilitas dan dukungan, meskipun undang-undang memberikan hak kepada pekerja perempuan untuk mendapatkan kesempatan yang layak untuk menyusui anaknya selama jam kerja, namun hal ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan ketersediaan ruangan untuk menyusui sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi kerja.[31]
Selain itu, Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) juga mewajibkan disediakannya fasilitas khusus di lingkungan kerja untuk keperluan pemberian ASI eksklusif.[32] Sejalan dengan ketentuan tersebut, Peraturan Menteri Kesehatan No. 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu (“Permenkes 15/2013”) mensyaratkan adanya pemberian kesempatan menyusui, dan realisasi dari Kewajiban ini dapat berupa penyediaan ruang laktasi.[33]
Dalam kaitannya dengan kewajiban menyediakan ruang laktasi secara khusus, pemberi kerja juga harus mewaspadai potensi sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada pihak-pihak yang dianggap merugikan upaya pelaksanaan program ASI eksklusif, sebagaimana diatur secara khusus dalam UU Kesehatan, termasuk keharusan menyediakan fasilitas penunjang menyusui di lingkungan kantor. Sanksi pidana yang berlaku terhadap pelanggaran dalam bidang ini dirinci sebagai berikut:[34]
- Pidana penjara maksimum satu tahun; atau
- Denda maksimum Rp. 50 juta.
II. Isu yang Belum Tertangani dalam RUU KIA Saat Ini
Dalam konteks substansi RUU KIA, masih terdapat beberapa hal yang perlu diperjelas lebih lanjut, khususnya terkait kepastian hukum dan implikasi cuti melahirkan dan cuti ayah, serta standar berlaku yang dapat mengakomodasi hak-hak ibu bekerja. Bagian berikut dari ILD edisi ini mengeksplorasi isu-isu tersebut lebih lanjut dan menjabarkan sudut pandang dari berbagai pemangku kepentingan terkait dalam sektor ini.
A. Cuti Melahirkan dan Cuti Ayah: Kepastian dan Implikasi Hukumnya
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ketentuan mengenai cuti melahirkan diatur secara khusus dalam UU Ketenagakerjaan, meskipun yang digunakan adalah istilah “istirahat” dan bukan istilah “cuti melahirkan” yang kini telah diadopsi dalam RUU KIA. Selain itu, terdapat juga berbagai perbedaan jangka waktu cuti yang tersedia dalam RUU KIA dan UU Ketenagakerjaan, yang terangkum dalam tabel berikut:
Aspek Komparatif | RUU KIA | UU Ketenagakerjaan |
Istilah | Istilah yang digunakan adalah “cuti melahirkan” | Istilah yang digunakan adalah “istirahat” |
Periode | Setidaknya tiga bulan pertama dan tambahan bersyarat tiga bulan berdasarkan surat keterangan dokter | 1,5 bulan (sebelum melahirkan) dan 1,5 bulan (setelah melahirkan), yang dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter, baik sebelum maupun sesudah melahirkan. |
Waktu cuti atau istirahat | Tidak ditentukan | Dibagi menjadi periode sebelum melahirkan dan setelah melahirkan |
Dalam wawancara dengan Juanda Pangaribuan, seorang praktisi hukum yang bekerja di bidang ketenagakerjaan dan hubungan industrial, muncul kekhawatiran bahwa perbedaan-perbedaan yang disebutkan di atas berpotensi mengakibatkan tumpang tindih ketentuan mengenai cuti melahirkan. Dalam hal ini, perbedaan-perbedaan yang tampaknya kecil ini berarti bahwa terdapat dualitas antara istilah “cuti melahirkan” sebagaimana diatur dalam RUU KIA dan “istirahat” sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Dualitas ini pada akhirnya dapat diartikan bahwa ibu yang bekerja berhak mendapatkan dua jenis hak yang berbeda.[35]
Kekhawatiran ini menjadi semakin problematis mengingat RUU KIA tidak menjelaskan lebih lanjut bahwa hak cuti melahirkan sebagaimana diatur dalam RUU KIA tidak serta merta disamakan dengan hak istirahat sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Tidak adanya kejelasan ersebut menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai apakah pemberi kerja wajib memberikan kedua jenis hak tersebut, atau hanya satu hak saja. [36] Sederhananya, potensi perselisihan dapat diajukan oleh para ibu yang bekerja, yang mungkin berupaya mendapatkan hak mereka untuk beristirahat sebelum dan sesudah melahirkan, sebagaimana dijelaskan dalam UU Ketenagakerjaan, selain hak mereka atas cuti melahirkan, sebagaimana dijelaskan dalam RUU KIA atas dasar bahwa kedua hak tersebut diakui secara terpisah dan tidak terdapat korelasi yang jelas antara kedua hak tersebut.[37]
Untuk mencari jalan tengah atas kekhawatiran tersebut, Diana Dewi, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) DKI Jakarta, menyatakan jika muncul kasus yang melibatkan pegawai yang menuntut pemenuhan haknya secara tumpang tindih, maka sebaiknya kasus tersebut dibahas secara bipartit untuk merundingkan kompensasi yang layak dan konsekuensi dari perpanjangan cuti melahirkan awal melebihi jangka waktu maksimum yang diberikan.[38]
Selain potensi perselisihan yang disebutkan di atas, perlu juga digarisbawahi bahwa ketentuan cuti melahirkan yang ada dalam RUU KIA saat ini dapat berdampak negatif terhadap ibu bekerja. Dibandingkan dengan UU Ketenagakerjaan yang menetapkan bahwa waktu istirahat harus diberikan sebelum dan sesudah melahirkan, RUU KIA tidak mengatur pemberian waktu istirahat tersebut bagi ibu bekerja. [39]
Dalam konteks ini, kekhawatirannya terletak pada kenyataan bahwa pemberi kerja mungkin hanya akan memberikan cuti melahirkan ketika seorang ibu yang bekerja telah memasuki masa persalinan, tanpa memberikan hak-haknya sebelum persalinan. Oleh karena itu, RUU KIA memerlukan ketentuan teknis untuk mengatur proses pemberian hak cuti atau istirahat.[40]
Di sisi lain, pemberi kerja secara umum tampaknya lebih condong pada ketentuan terbuka mengenai alokasi masa cuti melahirkan. Dalam hal ini, akan lebih baik jika dicari titik temu yang disepakati bersama untuk mengatasi perbedaan alokasi cuti, sebagaimana dibahas dalam kedua ketentuan tersebut, melalui perundingan bipartit. Kerugian kedua belah pihak (pekerja dan pemberi kerja) dapat diminimalisasi dengan cara ini, dan perlu diingat bahwa kedua belah pihak akan diberikan kesempatan untuk menegosiasikan alokasi cuti mereka dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kapasitas mereka.[41]
B. RUU KIA: Memberdayakan atau Berisiko?
Selain belum adanya kepastian hukum yang disebutkan di atas, terdapat pula kekhawatiran mengenai konteks ketentuan implikasi hukum yang diatur dalam RUU KIA. Muncul kekhawatiran mengenai ketentuan dalam RUU KIA yang tidak memberdayakan ibu bekerja dengan baik. Sebaliknya, ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam RUU KIA saat ini tampaknya menggambarkan dan mendefinisikan ibu yang bekerja sebagai suatu ketidaknyamanan bagi pemberi kerja.[42]
Meskipun mengakui bahwa ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam RUU KIA pada dasarnya bertujuan untuk menjamin peningkatan kesejahteraan bagi ibu dan anak, terdapat kekhawatiran bahwa ketentuan-ketentuan tersebut akan meninggalkan terlalu banyak kesenjangan bagi ibu yang bekerja, dan menggunakannya sebagai alasan atas kurangnya produktivitas dan tingkat kinerja yang memadai di tempat kerja. Alih-alih memanjakan ibu bekerja, akan lebih baik jika ketentuan tersebut memungkinkan mereka untuk mencapai keseimbangan antara memastikan kesejahteraan anak-anak mereka dan mempertahankan kinerja kerja mereka.[43]
Dalam skenario terburuk, pembebanan terlalu banyak kewajiban dan tanggung jawab kepada pemberi kerja terkait dengan fasilitasi perempuan yang bekerja dapat membuat pemberi kerja enggan mempekerjakan perempuan dalam jangka panjang. Pemberi kerja mungkin enggan mempekerjakan ibu atau perempuan secara umum sebagai cara untuk menghindari kewajiban dan tanggung jawab mereka terkait dengan ibu yang bekerja.[44]
Oleh karena itu, tanpa mengesampingkan upaya-upaya yang bertujuan untuk memastikan kesejahteraan ibu dan anak melalui serangkaian ketentuan baru yang terdapat dalam RUU KIA, implikasi jangka panjang dari ketentuan baru tersebut juga harus dipertimbangkan secara memadai.[45]
C. Standar yang Berlaku untuk Mengakomodasi Hak Ibu Bekerja
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, pemberi kerja, antara lain, wajib menyediakan sarana, akomodasi, dan prasarana yang layak yang mampu menjamin terpenuhinya kesejahteraan ibu dan anak, termasuk di tempat kerja. Meskipun demikian, pemberi kerja juga wajib menyediakan fasilitas layanan kesehatan, ruang laktasi, dan fasilitas penitipan anak setidaknya di dalam gedung kantornya. Selain itu, pemberi kerja juga harus mengakomodasi kebutuhan ibu bekerja dengan menyesuaikan tingkat kinerja yang diperlukan, jam kerja dan/atau tempat kerja ibu bekerja, dengan mempertimbangkan kondisi dan prestasi kerja.
Dalam konteks fasilitas berwujud, saat ini tidak semua gedung perkantoran menyediakan fasilitas yang dipersyaratkan dalam RUU KIA. Dalam hal ini, gedung-gedung perkantoran yang telah memenuhi persyaratan fasilitasi sebagian besar adalah kantor-kantor pemerintah dan perusahaan skala besar. Hal ini menunjukkan bahwa pemberi kerja tidak mempunyai kemampuan dan kapasitas yang sama dalam hal penyediaan fasilitas yang dibutuhkan.[46]
Saat ini, RUU KIA belum mengatur standar kepatutan yang berlaku yang harus dipenuhi oleh pemberi kerja untuk memastikan kepatuhan terhadap kewajiban tersebut. Namun hal ini memberikan peluang bagi perusahaan untuk merumuskan sendiri standar internal fasilitas yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pembangunan fasilitas tersebut di dalam gedung perkantorannya.[47]
Selain itu, layanan yang ditawarkan oleh fasilitator untuk membangun fasilitas yang diperlukan juga dapat dimanfaatkan oleh pemberi kerja untuk memastikan bahwa fasilitas dan akomodasi mereka memenuhi standar kepatutan. Hal ini tidak hanya akan menguntungkan pemberi kerja melalui jaminan kepatuhan tetapi juga akan menghasilkan penambahan lapangan kerja dan peluang kerja baru.[48]
Kesimpulan
RUU KIA menandai sebuah langkah signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak di Indonesia. Dengan mengonsolidasikan dan memperluas ketentuan hukum, RUU KIA membahas isu-isu penting seperti kesehatan ibu dan anak, gizi, dan kesejahteraan sosial. Namun, penerapan ketentuan-ketentuan ini akan membutuhkan koordinasi yang signifikan di antara berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemberi kerja, lembaga pemerintah, dan penyedia layanan kesehatan. Meskipun RUU ini menjanjikan manfaat yang besar, RUU ini juga memiliki tantangan, terutama dalam hal harmonisasi substansinya dengan UU Ketenagakerjaan yang ada dan memastikan kepatuhan di berbagai tempat kerja. Keberhasilan RUU KIA pada akhirnya akan bergantung pada pelaksanaan yang efektif dan evaluasi berkelanjutan yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.
Source: hukumonline.com