Logo Kadin Indonesia

KADIN INDONESIA

Indonesian Chamber of Commerce and Industry

KADIN INDONESIA

Indonesian Chamber of Commerce and Industry

Analisis Tren Perkara Putusan Mahkamah Agung atas Sengketa PPh Badan di Indonesia

Pendahuluan

April adalah bulan dimana perusahaan-perusahaan di seluruh Indonesia diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Badan (“SPT Tahunan”) atas pajak penghasilannya (“PPh”). Penyampaian SPT tahunan ini sangatlah penting karena jika tidak disampaikan perusahaan akan dikenakan denda administratif.[1]

Sejalan dengan pentingnya hal tersebut, per 17 April 2024, Direktorat Jenderal Pajak (“DJP”) melaporkan sebanyak 444.000 SPT Tahunan telah disampaikan oleh wajib pajak badan dan meningkat sebesar 5,37% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.[2] Jumlah ini masih akan bertambah karena batas waktu penyampaian SPT Tahunan masih berlangsung sampai dengan 30 April 2024.

Terkait dengan pelaporan pajak, Indonesia saat ini menganut rezim pajak self-assessment yang mengharuskan wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya kepada DJP. Namun, DJP juga berwenang melakukan pemeriksaan pajak untuk menilai kepatuhan wajib pajak terhadap peraturan perundang-undangan, termasuk menerbitkan surat ketetapan pajak apabila wajib pajak yang bersangkutan belum memenuhi kewajiban perpajakannya.[3]

Berdasarkan pengaturan di atas, sengketa perpajakan dapat timbul apabila terdapat perbedaan penafsiran atas pelaksanaan ketentuan perpajakan tertentu dan/atau perbedaan penghitungan pajak antara wajib pajak dan DJP. Statistik dari Sekretariat Pengadilan Pajak Menteri Keuangan menunjukkan bahwa jumlah sengketa perpajakan yang diajukan oleh wajib pajak telah meningkat menjadi 16.278 putusan di tahun 2023.

Untuk memitigasi risiko sengketa perpajakan ini, penting bagi wajib pajak badan untuk memahami cara kerja dan mekanisme perkara perpajakan. Oleh karena itu, edisi Indonesian Law Digest (“ILD”) kali ini akan menyajikan analisis mengenai sengketa perpajakan yang secara khusus berkaitan dengan PPh badan.

Analisis kami dilakukan berdasarkan pada putusan Mahkamah Agung pada tingkat Peninjauan Kembali yang diajukan baik oleh wajib pajak badan maupun DJP, dimana kami akan menarik kesimpulan dari berbagai pertimbangan yang dikeluarkan oleh hakim ketua. Untuk memberikan pembahasan yang lebih jelas mengenai masalah ini, analisis kami dibagi menjadi sebagai berikut:

  1. Pendahuluan Singkat Mengenai PPh Badan di Indonesia
  2. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pajak yang Tersedia di Pengadilan Pajak
  3. Analisis Tren
    1.  Temuan Umum
    2.  Analisis Pertimbangan Hakim

I.    Pendahuluan Singkat Mengenai PPh Badan di Indonesia

Undang-Undang No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja (secara bersama-sama disebut “UU 7/1983”), menyatakan bahwa PPh badan adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan selama satu tahun pajak.[4] Badan tersebut dapat berupa badan yang didirikan dan/atau berkedudukan di wilayah Indonesia maupun yang tidak didirikan dan/atau tidak berkedudukan di wilayah Indonesia, namun badan usaha yang tidak didirikan dan/atau tidak berkedudukan di wilayah Indonesia harus menjalankan usaha atau melakukan kegiatannya melalui Bentuk Usaha Tetap (“BUT”).[5]

Secara umum, wajib pajak badan dikenakan tarif PPh tahunan sebesar 22% dari penghasilan bersih kena pajak (“Tarif Standar”).[6] Perlu diketahui bahwa penghasilan bersih kena pajak tersebut diperoleh dari penghitungan penghasilan bruto tahunan yang diterima selama satu tahun pajak yang telah dikurangi dengan berbagai biaya yang dapat dikurangkan dan tidak dapat dikurangkan yang berlaku berdasarkan UU 7/1983.[7] Standar ini akan menentukan besaran PPh terutang yang masih harus dibayar oleh wajib pajak badan dalam SPT tahunan.

Namun, tarif yang berlaku di atas dikecualikan bagi perseroan terbuka yang memenuhi kriteria pencatatan saham minimal 40% dan kriteria lain yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, perusahaan tersebut berhak mendapatkan potongan pajak sebesar 3%, sehingga tarif yang berlaku adalah sebesar 19%.[8] Selain itu, wajib pajak badan dengan jumlah peredaran bruto tahunan tertentu juga dapat dikenakan fasilitas tarif PPh sebagai berikut.[9]

Jumlah Peredaran Bruto Tahunan Fasilitas tarif PPh
Tidak lebih dari Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan, wajib pajak badan dapat dikenakan tarif PPh final sebesar 0,5% untuk jangka waktu dan jenis perusahaan tertentu, antara lain: 1) Empat tahun bagi koperasi, persekutuan komanditer, firma dan badan usaha milik negara/daerah; dan 2) Tiga tahun bagi perseroan terbatas.

Fasilitas ini dapat dikecualikan apabila wajib pajak badan yang bersangkutan memilih untuk dikenakan Tarif Standar.

Rp 4,8 miliar – Rp 50 miliar Dapat dikenakan pengurangan 50% dari Tarif Standar

 

Selain tarif standar yang berlaku di atas, wajib pajak badan juga dikenakan pembayaran dan pelaporan PPh jenis lain berdasarkan UU 7/1983, yang diberi nama sesuai pasalnya masing-masing, sebagaimana terangkum dalam tabel di bawah ini:

Jenis PPh Keterangan
Pasal 4 (2)[10] Dikenakan pada jasa dan/atau sumber tertentu, seperti bunga, hadiah undian, transaksi saham atau sekuritas, jasa konstruksi, penyewaan tanah/bangunan, dan lain sebagainya.
Pasal 15[11] Dikenakan kepada korporasi yang bergerak dalam industri tertentu, antara lain pelayaran atau penerbangan, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan dagang asing, dan perusahaan pengeboran minyak, gas, dan panas bumi.
Pasal 21[12] Pemotongan pajak yang diterima individu sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, jasa, dan kegiatan.
Pasal 22[13] Dikenakan kepada badan usaha tertentu yang melakukan kegiatan ekspor/impor, pembayaran atau penyerahan barang, atau penjualan barang mewah.
Pasal 23[14] Dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh dari modal, pemberian jasa, hadiah atau penghargaan selain yang dipotong dari PPh Pasal 21.
Pasal 25[15] Pembayaran PPh terutang secara angsuran bulanan dengan tujuan untuk meringankan beban wajib pajak yang mengalami kesulitan dalam membayar kewajiban perpajakannya.
Pasal 26[16] Dikenakan terhadap penghasilan yang berasal dari Indonesia dan diterima oleh wajib pajak luar negeri selain BUT.

 

Jenis PPh di atas biasanya dihitung dalam laporan pajak bulanan dan berfungsi sebagai kredit pajak untuk mengurangi besaran PPh terutang, kecuali PPh Pasal 4 (2) dan 15.[17]

Menindaklanjuti hasil perhitungan di atas, Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja (secara bersama-sama disebut “UU 6/1983”) menetapkan bahwa DJP akan menerbitkan salah satu surat ketetapan sebagai berikut:[18]

  1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (“SKPKB”), apabila jumlah PPh yang terutang melebihi kredit pajak;
  2. Surat Ketetapan Pajak Nihil (“SKPN”) apabila jumlah PPh yang terutang sama dengan kredit pajak;
  3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (“SKPLB”) apabila jumlah PPh yang terutang lebih kecil dari kredit pajak; atau
  4. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (“SKPKBT”), apabila terdapat tambahan jumlah PPh terutang yang telah ditentukan.

Meskipun tidak ada ketentuan khusus yang mengatur jangka waktu pembayaran pajak kurang bayar, UU 6/1983 menjelaskan bahwa surat ketetapan tersebut akan diterbitkan dalam jangka waktu lima tahun setelah timbulnya kewajiban perpajakan atau pada akhir masa pajak bulanan atau tahunan.[19] Sementara kelebihan bayar pajak akan dikembalikan dalam waktu satu bulan atas permintaan wajib pajak atau sejak diterbitkannya SKPLB terakhir, setelah jumlahnya terlebih dahulu dikurangi untuk pelunasan utang pajak dari wajib pajak yang bersangkutan.[20]

Wajib pajak badan dapat mengajukan keberatan terhadap surat ketetapan di atas kepada DJP dalam jangka waktu tiga bulan sejak surat tersebut disampaikan.[21] Sebelum mengajukan keberatan, wajib pajak badan yang bersangkutan harus terlebih dahulu menyelesaikan setiap kewajiban perpajakan yang telah disepakati dari pembahasan akhir hasil pemeriksaan.[22] Setelah menerima keberatan tersebut, DJP harus menerbitkan Surat Keputusan Keberatan dalam jangka waktu satu tahun, yang menyatakan mengabulkan seluruhnya atau sebagian atau menolak keberatan tersebut, atau menambah jumlah pajak yang terutang.[23]

Selain surat keputusan di atas, UU 6/1983 juga menyatakan bahwa DJP dapat mengeluarkan surat keputusan lain untuk berbagai tujuan, antara lain pengembalian kelebihan pajak, imbalan bunga, pembetulan, pengurangan atau penghapusan sanksi administratif, atau pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak (secara bersama-sama disebut sebagai “Keputusan Lainnya”).[24]

Berdasarkan temuan awal kami, surat ketetapan dan surat keputusan keberatan di atas merupakan dua objek sengketa yang paling sering diajukan untuk peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Namun, sebelum membahas lebih lanjut perkara tersebut, ILD ini akan terlebih dahulu menguraikan mekanisme prosedural yang tersedia di pengadilan pajak.

 

II.  Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pajak yang Tersedia di Pengadilan Pajak

Dalam menilai kepatuhan wajib pajak, DJP berwenang melakukan pemeriksaan pajak untuk menerbitkan surat ketetapan. Sebagaimana telah dibahas secara singkat di atas, pengajuan keberatan merupakan salah satu upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak badan yang tidak setuju dengan rincian yang tercantum dalam surat ketetapan. Namun, keberatan tersebut merupakan penyelesaian di luar pengadilan dan hanya dapat diajukan terhadap surat ketetapan atau pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga.[25]

Sementara itu, dari segi mekanisme penyelesaian di pengadilan, Undang-Undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (“UU 14/2002”) menetapkan bahwa pengadilan pajak merupakan otoritas pertama dan terakhir dalam menangani sengketa perpajakan. Oleh karena itu, putusannya tidak dapat diajukan gugatan ke peradilan umum, peradilan tata usaha negara, atau badan peradilan lainnya, kecuali dalam hal putusan tersebut dianggap “tidak dapat diterima” karena masalah kewenangan atau kompetensi.[26]

Jenis upaya hukum yang tersedia di pengadilan pajak untuk menyelesaikan sengketa perpajakan antara lain melalui proses banding dan gugatan. Masing-masing proses ini memeriksa dan menyelesaikan objek sengketa yang berbeda-beda, sebagaimana diuraikan lebih lanjut pada tabel di bawah ini:

Objek Sengketa dalam Proses Banding Objek Sengketa dalam Proses Gugatan
Secara khusus memeriksa dan memutus sengketa mengenai surat keputusan keberatan atau surat keputusan lainnya yang dikeluarkan oleh pejabat terkait yang berwenang (misalnya DJP, direktur jenderal bea dan cukai, atau gubernur) kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.[27] Memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak, keputusan pembetulan pajak, atau keputusan lainnya, antara lain: 1) surat paksa, surat perintah pelaksanaan penyitaan, atau pengumuman lelang; 2) Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak; 3) Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang dapat diajukan keberatan; atau 4) Penerbitan surat ketetapan pajak atau surat keputusan keberatan yang diterbitkan tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.[28]

Perlu diketahui bahwa wajib pajak yang bersangkutan harus mengajukan satu surat banding atau gugatan untuk setiap objek sengketa yang diuraikan di atas dalam bahasa Indonesia.[29] Selain itu, dari aspek prosedural, UU 14/2002 menetapkan bahwa kedua proses tersebut dapat dilakukan melalui mekanisme persidangan acara biasa atau acara cepat.[30]

Diagram alir di bawah ini merupakan gambaran proses banding dan gugatan melalui mekanisme persidangan acara biasa, mulai dari pengajuan surat banding dan gugatan dan diakhiri dengan pelaksanaan putusan melalui penerbitan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap:

 

Sementara itu, mekanisme persidangan acara cepat dilakukan apabila berbagai persyaratan prosedur formil dalam mekanisme persidangan acara cepat tidak terpenuhi, antara lain terkait dengan pengajuan banding dan gugatan, jangka waktu pengumuman putusan, dan isi putusan.[31] Selanjutnya, mekanisme ini tidak memerlukan surat banding, tanggapan, dan bantahan dari DJP.[32] Diagram alur di bawah ini merangkum keseluruhan mekanisme persidangan acara cepat:

 

Meskipun putusan pengadilan pajak bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat, UU 14/2002 memberikan hak kepada para pihak yang bersengketa untuk meminta penyelesaian melalui peninjauan kembali di Mahkamah Agung.[33] Namun, peninjauan kembali tersebut tidak boleh menunda atau menghalangi pelaksanaan keputusan awal dan hanya dapat diajukan karena alasan tertentu, antara lain:[34]

  1. Putusan tersebut didasarkan pada keterangan palsu atau bukti palsu dari pihak lawan, yang diketahui setelah perkara diputus atau apabila bukti tersebut kemudian dinyatakan palsu oleh hakim pidana;
  2. Terdapat bukti tertulis baru yang penting dan menentukan, yang apabila diajukan pada tahap persidangan dapat menghasilkan putusan yang berbeda;
  3. Terdapat suatu hal yang telah dikabulkan yang semula tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali pengadilan memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya atau sebagian perkara yang bersangkutan atau menyesuaikan jumlah pajak yang terutang;
  4. Suatu bagian dari banding atau gugatan telah diputuskan tanpa mempertimbangkan sebab-sebabnya; atau
  5. Putusan tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

III. Analisis Tren

Sepanjang periode 2020 – 2023, sebanyak 235 perkara sengketa pajak terkait PPh badan telah diproses oleh Mahkamah Agung di tingkat peninjauan kembali. Berdasarkan data yang kami kumpulkan, DJP selalu kalah melawan wajib pajak di pengadilan, hal ini menunjukkan bahwa DJP tidak mampu mempertahankan ketetapan pajaknya, sebagaimana dirangkum dalam grafik batang berikut.

Di tahun 2023, terdapat 71 sengketa pajak terkait PPh badan yang diproses oleh Mahkamah Agung. Tren hasil perkara di atas masih berlanjut karena DJP hanya berhasil mencatatkan 22 kemenangan dan 49 kekalahan. Temuan kami mengenai persentase sengketa PPh badan di atas mencerminkan tren yang diamati dalam keseluruhan sengketa pajak antara DJP dan wajib pajak. Para ahli juga mengakui bahwa rendahnya tingkat keberhasilan DJP dalam sengketa perpajakan merupakan permasalahan berulang yang cenderung meningkat setiap tahunnya. Pendapat ini didukung oleh data resmi DJP yang menunjukkan bahwa rasio kekalah mereka dalam sengketa perpajakan secara keseluruhan mencapai 62,4% pada tahun 2023.[35]

 

Kami juga telah mengidentifikasi persentase sektor usaha wajib pajak badan yang terlibat dalam 71 kasus di atas untuk mengetahui sektor mana yang paling rentan terlibat sengketa pajak PPh badan, sebagaimana ditunjukkan pada diagram di bawah ini:

 

Untuk sepenuhnya memahami alasan-alasan yang mendasari hasil perkara pajak PPh badan di atas, kita harus terlebih dahulu mengetahui putusan pengadilan dan pertimbangannya dalam setiap perkara. Namun, dari 71 perkara di tahun 2023, masih terdapat beberapa perkara yang dokumennya masih belum dapat diakses atau belum tersedia melalui database Mahkamah Agung.

Oleh karena itu, kami mengecualikan perkara-perkara yang dokumennya tidak tersedia dan kami telah mengumpulkan data mengenai 49 kasus yang disidangkan sepanjang tahun 2023 (termasuk berbagai perkara dengan hasil putusan menang dan kalah), sebagaimana dirinci lebih lanjut di bawah ini. Tabel pertama di bawah ini membahas batasan dan metodologi yang digunakan selama pengumpulan data 49 kasus yang disebutkan di atas:

Batasan Pengumpulan Data
Jenis data Putusan di tingkat peninjauan kembali
Periode putusan 2023
Ruang lingkup ketentuan Sengketa pajak terkait PPh badan
Sumber putusan https://putusan3.mahkamahagung.go.id/

dan

https://www.hukumonline.com/pusatdata/putusan/

Batasan lainnya Berkas putusan yang dapat diakses publik dan keputusan harus mengikat secara hukum
Metodologi Pengumpulan Data
Filtering directories Filter yang digunakan untuk menavigasi direktori diuraikan sebagai berikut:

Pengadilan à Mahkamah Agung à Pajak à Pajak Penghasilan Badan/PPhBd à 2023

A.   Temuan Umum

Merujuk dari 49 putusan PPh badan yang berhasil kami kumpulkan, ditemukan bahwa Mahkamah Agung telah memutus 44 perkara di tingkat banding dan lima perkara di tingkat gugatan, dimana keduanya diajukan oleh DJP dan Wajib Pajak Badan. Sehubungan dengan hal tersebut, masing-masing perkara dibagi menjadi jenis dan persentase objek sengketa sebagai berikut:

 

 

Data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar perkara yang disidangkan di Mahkamah Agung merupakan proses banding di Pengadilan Pajak mengenai berbagai Keputusan Keberatan atas surat ketetapan yang diterbitkan DJP kepada Wajib Pajak Badan, sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Ayat (1) jo. Pasal 26 (1) UU 6/1983. Dari persentase mayoritas tersebut, kami juga menemukan bahwa objek sengketa di antara para pihak tidak hanya terkait dengan perbedaan pendapat atas jumlah akhir yang masih harus dibayar atau dikembalikan kepada wajib pajak badan, tetapi juga terkait dengan pembetulan unsur-unsur seperti perhitungan laba bersih atau biaya yang dapat dikurangkan/tidak dapat dikurangkan.

Sementara itu, hanya ada lima putusan dalam proses gugatan, tiga di antaranya adalah Putusan No. 325 B/PK/PJK/2023, Putusan No. 253 B/PK/PJK/2023, dan Putusan No. 1710 B/PK/PJK/2022 yang memuat Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga. Sementara dua putusan lainnya adalah Putusan No. 5402 B/PK/PJK/2023 terkait gugatan kepada Menteri Keuangan dan Putusan No. 5335 B/PK/PJK/2023 terkait gugatan terhadap Surat Keputusan Pembetulan Pajak.

B.   Analisis Pertimbangan Hakim

Sebagaimana diuraikan di atas, kami telah mengumpulkan data mengenai 49 perkara di Pengadilan Pajak yang secara khusus berkaitan dengan PPh Badan dan telah mengidentifikasi putusan hakim serta pertimbangannya dalam setiap kasus. Terkait dengan berbagai perkara tersebut, menarik untuk diperhatikan bahwa sepanjang tahun 2023, seluruh kekalahan DJP melawan wajib pajak badan terjadi ketika mereka melakukan peninjauan kembali sebagai pemohon. Sebaliknya, DJP memperoleh sebagian besar kemenangannya ketika wajib pajak badan mengajukan permohonan peninjauan kembali.

Namun, kami menemukan satu kasus dimana pengajuan wajib pajak badan dikabulkan oleh majelis hakim. Perkara ini ada dalam putusan No. 1710/B/PK/PJK/2022 dimana sebelumnya Majelis Hakim Pengadilan Pajak menolak gugatan Wajib Pajak Badan mengenai permintaan imbalan bunga. Terkait hal ini, Mahkamah Agung menilai bahwa Pengadilan Pajak telah salah menilai fakta persidangan dan secara tidak adil memutus wajib pajak kalah dalam perkara ini. Alhasil, Mahkamah Agung mengabulkan sepenuhnya peninjauan kembali tersebut sehingga wajib pajak yang bersangkutan berhak menerima imbalan bunga dari DJP.

Terkait pertimbangan hakim di tingkat peninjauan kembali, penelitian kami menemukan bahwa keseluruhan pertimbangan hakim tersebut pada dasarnya untuk memperkuat dan menyatakan kembali argumentasi yang telah disampaikan Pengadilan Pajak. Selain itu, argumen-argumen ini lebih menekankan pada substansi materil dibandingkan rincian prosedural.

Argumentasi materil muncul apabila ditemukan adanya perbedaan penghitungan besaran pajak antara DJP dan Wajib Pajak. Perbedaan tersebut seringkali muncul akibat perbedaan penafsiran dasar hukum, peraturan perpajakan atau sengketa atas transaksi tertentu.[36] Tabel berikut merangkum beberapa contoh putusan yang memuat argumen-argumen di atas dalam pertimbangannya:

Nomor Perkara Keterangan
DJP Kalah Melawan Wajib Pajak
5466 B/PK/PJK/2023 Wajib pajak badan dapat membuktikan bahwa mereka telah membayar biaya royalti kepada pihak lawannya, sehingga koreksi penyesuaian fiskal positif atas biaya royalti sebesar USD 1.899.237,65 yang dikeluarkan oleh DJP tidak dapat dibenarkan.
5453 B/PK/PJK/2023 Wajib Pajak badan dapat membuktikan bahwa kendaraan alat berat yang disewakan oleh perusahaan wajib pajak mempunyai manfaat ekonomi selama empat tahun dan dikelompokkan dalam aktiva kelompok I dengan tarif 25%. Oleh karena itu koreksi biaya penyusutan aktiva tetap sebesar Rp. 31.626.361.454,00 yang dikeluarkan DJP tidak dapat dibenarkan.
325 B/PK/PJK/2023 Wajib Pajak badan berhak menerima imbalan bunga atas kelebihan pembayaran kewajiban perpajakannya sebesar Rp. 72.394.320.093,00
DJP Menang Melawan Wajib Pajak
4604 B/PK/PJK/2023 Wajib Pajak badan tidak mempunyai bukti yang cukup dan valid mengenai fakta bahwa pemohon tidak mampu memenuhi kewajiban pembayarannya jatuh tempo waktu pembayaran kewajiban. Oleh karena itu, pengadilan tidak dapat membatalkan koreksi biaya bunga atas keterlambatan pembayaran kepada afiliasi sebesar Rp. 6.775.430.383, yang diterbitkan oleh DJP.
5467 B/PK/PJK/2023 Wajib Pajak badan tidak mempunyai cukup bukti atau penjelasan untuk membatalkan koreksi positif biaya management sebesar USD 5.779.517 dan biaya IT service sebesar USD 46.193,94.
5335 B/PK/PJK/2023 Majelis hakim menimbang bahwa nilai pembuktian yang diajukan sudah sesuai dengan prinsip substance over the form, sehingga Surat Keputusan koreksi DJP mengenai harga pokok sebesar Rp. 12.261.349.225 dan pengurangan penghasilan bruto sebesar Rp. 62.895.608.259, tetap dipertahankan.

 

Berdasarkan rangkuman berbagai pertimbangan hakim mengenai putusan-putusan di atas, dapat dilihat bahwa keberhasilan dan kegagalan DJP terletak pada kemampuannya dalam memberikan bukti-bukti pendukung selama persidangan untuk mendukung argumentasi, mengingat bukti-bukti tersebut merupakan dasar perhitungan pemeriksaan pajak oleh DJP. Bukti ini meliputi hal-hal seperti laporan bank, laporan akuntan publik, surat pengantaran dan faktur.[37]

Selain adanya alat bukti, hasil sengketa juga bergantung pada substansi materil perselisihan mengenai penafsiran komponen biaya yang mempengaruhi besaran akhir PPh badan. Untuk memahami dan mengevaluasi komponen biaya ini secara akurat, diperlukan pemahaman praktis mengenai industri dan proses bisnis masing-masing wajib pajak.

 

 

Sumber: hukumonline.com

Analisa Lainnya

KADIN INDONESIA

Indonesian Chamber of Commerce and Industry