Peraturan President No. 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana diubah oleh Peraturan Presiden No. 12 tahun 2021 (secara kolektif disebut “Perpres 16/2018”),[1] mengamanatkan kebijakan yang secara khusus membahas pengadaan barang/jasa pemerintah berkelanjutan dan yang bertujuan untuk memaksimalkan value for money sekaligus mengurangi dampak negatif selama produksi, penggunaan, dan pasca penggunaan barang/jasa tersebut (“Pengadaan Berkelanjutan”)[2] harus ditetapkan.[3]
Untuk mewujudkan mandat yang diuraikan di atas, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (“LKPP”) baru-baru ini memperkenalkan seperangkat pedoman komprehensif yang secara khusus membahas penerapan Pengadaan Berkelanjutan (“Pedoman”) melalui penerbitan Keputusan Kepala LKPP No. 157 tahun 2024 (“KepkaLKPP 157/2024”), yang berlaku sejak 13 Maret 2024.[4] Pedoman ini sendiri diuraikan secara komprehensif dalam Lampiran KepkaLKPP 157/2024 dan kini harus digunakan sebagai acuan oleh para pelaku pengadaan pemerintah dalam penerapan Pengadaan Berkelanjutan. Para pelaku pengadaan tersebut adalah sebagai berikut:[5]
- Pengguna Anggaran (“PA”) atau Kuasa Pengguna Anggaran (“KPA”);
- Pejabat Pembuat Komitmen (“PPK”); dan
- Kelompok Kerja Pemilihan (“Pokja”).
Pada intinya, Pedoman ini mencakup berbagai hal yang secara khusus berkaitan dengan penerapan Pengadaan Berkelanjutan, yang secara keseluruhan meliputi aspek-aspek berikut:
- Pengantar Pengadaan Berkelanjutan;
- Fase pelaksanaan Pengadaan Berkelanjutan;
- Peran dan tanggung jawab para pelaku Pengadaan Berkelanjutan yang relevan;
- Pemenuhan kriteria keberlanjutan melalui pelabelan dan standar barang/jasa; dan
- Pemanfaatan sistem elektronik dalam Pengadaan Berkelanjutan.
Dalam kaitannya dengan penerapan Pengadaan Berkelanjutan secara keseluruhan, Pedoman ini menyatakan bahwa aspek-aspek berikut harus dipertimbangkan:[6]
- Aspek ekonomi (misalnya biaya dalam pembuatan barang/jasa selama periode penggunaan yang relevan)
- Aspek sosial (misalnya pemberdayaan usaha kecil, kondisi kerja yang adil, inklusivitas, dan sebagainya); dan
- Aspek lingkungan (misalnya mengurangi dampak negatif yang berkaitan dengan kesehatan, kualitas udara/tanah/air, dan pemanfaatan sumber daya alam).
Berdasarkan latar belakang tersebut, Indonesia Legal Brief (“ILB”) edisi kali ini memberikan penjabaran atas berbagai ketentuan ysng dimuat dalam Pedoman tersebut, yang dituangkan secara komprehensif dalam Lampiran KepKaLKPP 157/2024, khususnya yang berkaitan dengan hal-hal berikut:
- Tata Cara Pelaksanaan Pengadaan Berkelanjutan; dan
- Sistem Pengadaan Secara Elektronik yang Tersedia.
Tata Cara Pelaksanaan Pengadaan Berkelanjutan
Sebelumnya, penting untuk dicatat bahwa Pengadaan Berkelanjutan dapat dilaksanakan sejalan dengan skema swakelola atau melalui Pengadaan yang dilakukan melalui pelaku usaha yang menyediakan barang/jasa berdasarkan kontrak (“Penyedia“)[7]
Dalam kaitannya dengan Pengadaan Berkelanjutan sendiri, Pedoman ini menyatakan bahwa pengadaan tersebut terdiri dari tiga fase utama, sebagaimana dirangkum dalam tabel berikut:
Fase I: Perencanaan[8] |
PA dan PPK menyusun dan mengumumkan rencana umum pengadaan (“RPU”), sedangkan paket pengadaan apa pun berdasarkan RPU ini harus diunggah ke sistem informasi RPU (SIRUP) selambat-lambatnya tanggal 31 Maret setiap tahunnya. |
Tahap II: Persiapan | ||
Aspek | Catatan | |
Konsep umum[9] | Aspek teknis dan persyaratan pengadaan tertentu harus ditentukan, sehingga pejabat pemerintah terkait harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan unit kerja pengadaan barang/jasa terkait (“UKPBJ”) untuk menentukan bagaimana Pengadaan Berkelanjutan dapat dimasukkan ke dalam proses pengadaan secara keseluruhan. | |
Prosedur yang berlaku | Swakelola[10] | Mencakup kegiatan berikut:
|
Pengadaan melalui Penyedia[11] | Mencakup kegiatan berikut:
|
Tahap III: Pelaksanaan[12] | |
Aspek | Catatan |
Swakelola | Mencakup kegiatan berikut:
|
Pengadaan melalui Penyedia | Mencakup kegiatan berikut:
|
Selama pelaksanaan pengadaan, UKPBJ juga dapat mewajibkan seluruh barang/jasa yang diadakan untuk mematuhi berbagai standar lingkungan atau keberlanjutan (misalnya pelabelan ramah lingkungan atau standar perdagangan yang adil) atau standar internasional lain yang relevan, sebagaimana diuraikan secara komprehensif dalam Lampiran 3 – 5 Pedoman.[13]
Selain itu, hasil pelaksanaan yang diuraikan di atas harus dilaporkan sebagai bagian dari laporan tahunan atau laporan kinerja UKPBJ atau tersendiri dalam laporan khusus. Laporan tersebut kemudian dapat berfungsi sebagai alat untuk menilai keberlanjutan kontrak pengadaan dan pada akhirnya dapat menjadi dasar untuk penghentian kontrak lebih awal atau penerbitan peringkat kinerja buruk kepada Penyedia.[14]
Sistem Pengadaan Secara Elektronik yang Tersedia
Berdasarkan Pedoman tersebut, setiap pelaku pengadaan yang melakukan kegiatan pengadaan melalui penggunaan dana negara wajib menggunakan sistem e-procurement.[15] Tabel berikut merangkum sistem pengadaan secara elektronik yang tersedia untuk Pengadaan Berkelanjutan:
Penyelenggara | Sistem yang Tersedia | Keterangan Umum | |
LKPP | e-Katalog[16] | Negosiasi harga | Harga akhir pembelian harus dinegosiasikan, bersamaan dengan negosiasi teknis (misalnya pelatihan, instalasi, garansi/layanan purna jual, dan bundling produk) |
Mini kompetisi | Perbandingan antara dua atau lebih Penyedia yang memiliki barang yang sama atau sejenis untuk menilai harga terbaik dan pemenuhan kriteria keberlanjutan terbaik | ||
Penyedia e-marketplace yang telah terdaftar sebagai penyelenggara kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) | Toko daring[17] | Empat kanal telah ditetapkan untuk mengidentifikasi pasokan yang relevan (yaitu pembelian langsung, usaha non-mikro dan skala kecil, kurasi lokal, dan jenis kurasi lainnya) |
Sumber: hukumonline.com